Seorang wanita bernama Mita Sari Ayu (34) yang mengaku sebagai Direktur CV Angkasa Perdana Meuraxa dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO) Polda Aceh karena diduga telah menipu hampir seratus warga Banda Aceh (umumnya ibu-ibu) hingga menimbulkan kerugian ratusan juta bahkan ada yang miliaran rupiah per orang.
Informasi terjadinya penipuan oleh seorang wanita bernama Mita Sari Ayu yang mengaku sebagai rekanan Pertamina diungkapkan oleh seorang sumber dengan mempersilakan Serambi meminta konfirmasi polisi dan seorang saksi korban berinisial Rt. Ternyata dalam penelusuran, bukan hanya Rt yang jadi korban melainkan hampir 100 orang ibu-ibu lainnya di Kota Banda Aceh. Namun yang berani melapor ke polisi hingga Selasa (2/2), menurut seorang petugas di Polda Aceh, baru empat korban, masing-masing Rt, Tc, Md, dan Kh.
Korban melapor terjebak dalam bisnis penanaman modal proyek jual beli bensin dan minyak tanah, serta pembangunan stasiun pengisian bulk elpiji (SPBE) yang ternyata fiktif. Dari sekitar 100 peserta bisnis itu, total kerugian diperkirakan mencapai Rp 35 miliar. Nyonya Rt yang ditemui di rumahnya, kawasan Lampineueng, Banda Aceh, Selasa (2/2) mengungkapkan, dirinya kenal dengan wanita bernama Mita Sari Ayu pada awal 2007 setelah dikenalkan oleh seorang ibu lainnya yang sudah lebih duluan menjalankan bisnis jual beli bensin dan minyak tanah dengan Mita.
Mita Sari Ayu, kelahiran Surabaya, 20 Maret 1976 mengaku sebagai Direktur CV Angkasa Perdana Meuraxa, Banda Aceh yang merupakan rekanan Pertamina Aceh. Mita menyalurkan bensin dan minyak tanah ke pangkalan-pangkalan di Banda Aceh dan Aceh Besar.
Merasa tertarik dengan tawaran kerjasama tersebut, Rt menyetor modal awal (saham) Rp 50 juta dengan perjanjian di kuitansi bahwa keuntungan Rp 2,5 juta/bulan tanpa batas waktu. Segala risiko ditanggung pihak kedua, yaitu pelaku. Pada awalnya, bisnis yang digerakkan Mita bersama ibu-ibu di Kota Banda Aceh, termasuk dengan Rt terkesan sangat mulus. Pesertanya langsung mendapatkan keuntungan sesuai modal disetor. Rt sendiri mengaku diberikan keuntungan tepat waktu sesuai yang dijanjikan.
Karena pelaku tepat janji dan terkesan profesional di bisnis tersebut, suami Rt ikut mendukung dengan mengabulkan permintaan pelaku untuk menambah modal (tahap kedua) Rp 100 juta. Karena modal sudah Rp 100 juta, pelaku membuat perjanjian melalui notaris Irma Savitri Harahap di kawasan Lhong Raya, Banda Aceh. Dengan penyertaan modal yang sudah bertambah, maka keuntungan yang diperoleh Rt menjadi Rp 7,5 juta/bulan. Perhitungannya adalah setiap saham Rp 50 juta, keuntungan untuk penanam modal Rp 2,5 juta/bulan tanpa batas waktu. Ketentuan itu juga berlaku untuk peserta yang lain.
Mencapai Rp 4,6 miliarKetika diwawancarai di rumahnya, kemarin, Nyonya Rt tampak sangat terpukul dengan peristiwa itu. Ia tak ingat lagi berapa kali pelaku datang ke rumahnya untuk mencairkan uang (baik tambahan modal maupun menyetorkan keuntungan). Bisnis yang berlangsung lancar itu membuat mitra kerja Mita Sari Ayu tak segan-segan menambah modal, termasuk Rt. "Hingga posisi November 2008, modal yang saya setor mencapai Rp 3 miliar dengan jumlah keuntungan yang diberikan Rp 180 juta," ungkap Rt yang memiliki sebuah usaha ternama di Banda Aceh dan juga berprofesi sebagai guru. Sedangkan suaminya pensiunan PNS.
Nyonya Rt menceritakan, ia dan anggota keluarga termasuk suaminya seperti orang terhipnotis setiap kali pertemuan dengan Mita. Wanita itu juga sangat santun dan hormat. Setiap kali bertemu, Mita selalu mencium tangan dan pipi Nyonya Rt. Penampilan pelaku dan gaya bicaranya juga sangat meyakinkan. Wanita itu menggunakan mobil jeep Fortune, sedangkan berlian di tangan dan leher pelaku selalu berbeda atau dipadukan dengan warna baju yang dia pakai.
"Kami seperti terhipnotis. Bahkan uang keuntungan yang sudah saya terima sebesar Rp 180 juta yang diminta kembali oleh pelaku untuk alasan membangun SPBE di kawasan Lhoknga, saya serahkan begitu saja. Bahkan, kami juga setuju ketika Mita meminta tambahan saham untuk SPBE Rp 1,6 miliar, sehingga total modal yang saya setor mencapai Rp 4,6 miliar," ungkap korban.
Mulai curiga Nyonya Rt mengaku untuk kelancaran kerjasama bisnis itu, ia telah habis-habisan, seperti menjual tanah warisan dan perhiasan. Bahkan ada pinjaman bank sebesar Rp 800 juta dengan agunan sertifikat tanah dan rumah. Sebenarnya, kata Rt, ketika mengantar tambahan modal sebesar Rp 1,6 miliar (akhir 2008) ke rumah Mita di Jalan Suplir Nomor IA, Punge Jurong, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, suaminya sudah curiga. Sebab, Mita Sari Ayu dan suaminya, Mawardi hanya tinggal di rumah bantuan korban tsunami. Rt dan suaminya juga sudah memastikan ke Pertamina, ternyata tidak ada rekanan perusahaan itu yang bernama Mita Sari Ayu (Direktur CV Angkasa Perdana Meuraxa).
"Kini, setiap malam saya hanya bisa menangis mengingat uang itu. Hanya darah yang tidak keluar dari mata saya. Tanah warisan, emas, berlian sudah saya jual. Saya juga meminjam uang di bank Rp 800 juta dengan agunan sertifikat tanah dan rumah. Dari Rp 4,6 miliar kerugian saya, kira Rp 2,9 miliar menggunakan akta notaris Irma Savitri Harahap. Sisanya hanya menggunakan kuitansi. Sekarang akta jual beli dan kuitansi itu ada sama polisi," kata Nyonya Rt dengan mata berkaca-kaca.
Menurut Rt, pelaku menghilang sejak Januari 2009 ketika bangunan SPBE di Lhoknga sudah siap sekitar 50 persen. Namun setelah ditelusuri, ternyata suami Mita tidak membayar kontraktor yang mengerjakan proyek SPBE itu. Bahkan menurut sumber-sumber polisi, Mawardi pernah ditahan karena terlibat kasus sabu-sabu. Namun kini sudah bebas dan disebut-sebut berada di Medan, sedangkan istrinya yang berstatus DPO belum diketahui keberadaannya.
Menurut Rt, selain dirinya, adik kandung dan menantunya juga ikut terjebak dalam bisnis yang dikendalikan Mita. Nyonya Rt juga memperkenalkan 18 temannya yang lain ke pelaku, dan semuanya ikut dalam bisnis itu. "Menurut perhitungan saya, ada sekitar 100 orang di Banda Aceh menjadi korban penipuan pelaku dengan modus yang sama. Total kerugian ditaksir mencapai Rp 35 miliar," ujar Rt.
Ada istri pejabatKasus itu dilapor ke polisi pada bulan Agustus 2009 ketika Mita sudah tak diketahui keberadaannya. Namun hingga 2010 ini, berdasarkan dokumen yang diperoleh Serambi, hanya empat orang yang tercatat sudah melapor ke polisi, yaitu Rt, Tc, Md, dan Kh. Tc mengalami kerugian Rp 200 juta lebih, Md Rp 400 juta lebih, dan Kh Rp 300 juta lebih.
Sedangkan korban lainnya, hingga saat ini belum berani melapor dengan berbagai alasan, di antaranya karena ada di antara mereka istri pejabat atau orang-orang berpengaruh di Banda Aceh. Dir Reskrim Polda Aceh, Kombes Pol Esa Permadi yang dimintai konfirmasinya menyangkut kasus ini mengarahkan Serambi agar menanyakan ke Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Pol Farid Ahmad. Namun, hingga tadi malam, Kabid Humas tidak menjawab sms Serambi menyangkut persoalan itu.
Dokumen yang terkait kasus tersebut diperoleh Serambi dari Nyonya Rt berupa surat DPO (Mita Sari Ayu) yang dikeluarkan Polda Aceh 20 September 2009, surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan Polda Aceh, akta notaris (perjanjian kerjasama antara Mita Sari Ayu dengan korban), dan hasil pemeriksaan Notaris Irma Savitri. Sebetulnya, kata Nyonya Rt, surat notaris itu dibuat tidak seperti aturannya. Akta notaris itu bukan diteken di depan notaris tetapi di rumah Rt. "Kepada polisi, Notaris Irma Savitri mengaku lalai. Kami berharap pelaku dapat ditangkap dan diproses hukum," demikian Nyonya Rt.
.
sal, nas/serambi indonesia