Kiki juga bertutur, bagian depan rumah di Kebondalem III, Magelang, (ada dua rumah menyatu di lokasi sama, Red.), dibeli tahun 1967 oleh Suzanna dan ayah kandungnya, mendiang Dicky Suprapto yang meninggal tahun 2006. "Saya pernah lihat, kok, surat rumah itu atas nama mendiang orang tua. Entah kalau sekarang sudah diubah. Misalnya benar diubah dan dibilang atas kemauan Mama, ya, nanti kita cek. Kita lihat kejujuran Clift."
Menyoal upaya hukum yang akan ditempuhnya, Kiki masih menunggu hingga surat wasiat Suzana dibuka dan dibacakan notaris. "Saya masih mengharap kejujuran Clift. Soalnya, sampai sekarang pun saya sulit masuk ke rumah ayah saya (maksudnya rumah yang kini didiami Clift, Red.). Tapi kalau enggak ada kejujuran, saya terpaksa melaksanakan amanat almarhum Papa. Apa persisnya, belum bisa saya katakan sekarang. Yang jelas, Papa minta amanat itu harus diperjuangkan."
Amanah sang ayah, lanjut Kiki, disampaikan usai insiden penembakan Clift terhadap Abri. Apakah Dicky melihat sesuatu pada Cift sehingga "harus" mengeluarkan amanat? "Tentu. Clift itu, kan, tukang bohong. Papa takut saya dibohongi ke sekian kalinya. Kalau mau jujur, Papa beli rumah itu tahun 1967. Jadi, waktu itu Clift baru berumur dua tahun. Nah, sekarang ini, siapa tinggal di rumah siapa?"
KENANGAN INDAH Bagi Kiki, rumah di Kebondalem itu begitu sarat kenangan indah. "Banyak cerita di rumah itu. Saya, Papa, Oma, bahkan Om Booje, sebelum ada rumah sendiri, pernah tinggal di sana."
Kenangan indah bersama Suzanna masih jelas terekam di benak Kiki. Saat masih kecil, cerita Kiki, ia lebih dekat dengan ayahnya. Sementara mendiang Ari, sang kakak, dekat dengan ibunya. Sayang, tahun 1974 orangtuanya bercerai. Lalu tiga tahun kemudian kakaknya meninggal.
"Sudah direncanakan Tuhan. Setelah perceraian dan meninggalnya kakak, hubungan saya dengan Mama jadi dekat. Kami kayak teman. Beda usia kami, kan, cuma 20 tahun."
Pasca perceraian orangtuanya, masa-masa sulit dilalui Kiki bersama Suzanna di rumahnya di kawasan Blok M Jakarta. Kala itu Suzanna hanya membatasi bermain satu film dalam satu tahun. Akibatnya tak jarang mengalami kesulitan ekonomi. "Kami sering menghitung-hitung uang kalau Mama usai terima kontrak film. Uangnya dibagi-bagi untuk bayar hutang dan tagihan ini dan itu. Sisanya diirit untuk hidup hari-hari berikunya," kenang Kiki.
Di umur 15 tahun Kiki ingin punya penghasilan sendiri. Ia pun jadi penyiar radio. Umur 17 tahun menjadi penyanyi. Hasil kerja itu ia kumpulkan bersama sang mama untuk membeli rumah dan tanah. Rini Sulistyati
Foto : Rini