uka mendalam menyelimuti keluarga Ida Fitriyani (32). Ibu empat anak ini harus berpisah selamanya dengan putri kesayangan, PFN (9). Putri kecilnya menjadi korban pembunuhan keji di Kawasan Kalideres, Jakarta Barat. Mayatnya ditemukan di dalam kardus dan dibuang di Jl. Sahabat, Kalideres, Jakarta Barat,
PFN adalah anak ketiga yang dikenal manis dan rajin. Syok berat, Ida hanya bisa terbaring di kamar dan terus meratapi kehilangannya. Lewat sang nenek, Syaidah (68), terungkap banyak kenangan manis PFN yang disayang banyak orang. Saat disambangi di rumah duka di Kampung Rawa Lele, Kalideres, Jakarta Barat tampak Syaidah, sang nenek tengah duduk termenung. Wajahnya sedih. Saat ditanya kondisinya, Syaidah sempat tak bisa menjawab dan hanya menarik napas dalam. Ia kemudian memejamkan mata dan menundukkan kepalanya.
Baca: Kasus Bocah Dalam Kardus, Begini Penuturan Tersangka Agus
“Saya masih enggak tahan, apalagi kalau lihat Ida nangis, jadinya malah ikutan nangis. Sejak jenazah Neng ditemukan, kami semua enggak bisa tidur, enggak selera makan,” katanya melukiskan perasaannya. Masih teringat jelas di benak Syaidah, percakapan terakhir dengan cucu kesayangan yang ia panggil Neng.
Hari itu Jumat, 2 Oktober 2015. Waktu mau berangkat sekolah, Neng terlihat tak seperti biasanya. Neng yang bangun sejak subuh terlihat lemas seperti orang sakit. “Waktu itu saya hendak wudu dan salat Subuh. Saya tegur dia, “Ya udah Neng kalau lagi sakit enggak usah sekolah. Tapi dasar Si Neng emang rajin, dia sih cuma jawab, ‘Enggak papa Nek, cuma lemas dikit aja kok,’” cerita Syaidah menirukan jawaban cucunya.
Usai salat Subuh, Syaidah pun mengecek ke kamar PFN, melihat persiapan cucunya. ”Cucu saya yang ini memang rajin. Subuh sudah bangun. Kalau ada yang bangun lebih dulu dia malah marah. Jam 6 saja dia sudah jalan. Ia juga mandiri, semuanya dia kerjakan sendiri tanpa mengeluh,” lanjut ibu sembilan anak ini.
Syaidah bahkan sempat melihat sang cucu menyeterika seragam sekolah dan membersihkan sepatu sekolah sendiri.
Ketika hendak berangkat ke sekolah, PFN berbincang dengan sang bunda yang ia panggil Umi. “Waktu itu Neng setengah berteriak minta uang sama Uminya, tapi karena Uminya bilang enggak punya duit, dia sempat ngambek. Nah, anak saya Nur, kakaknya Ida langsung ngasih uang saku Rp2.000 ke Neng. Neng minta tambah lagi seribu katanya. Ketika saya keluar, tetangga depan yang sayang sama Neng menambahkan uang sakunya genap Rp3.000. Habis itu Neng senyum dan berangkat ke sekolah,” kenang Syaidah.
Ida dan Syaidah sama sekali tak merasa khawatir ketika PFN belum kembali ke rumah sore harinya. “Biasanya dia menginap di rumah keluarga di deket sini. Subuh dicek dan dicari, ada kabar penemuan jenazah. Ternyata, itu Neng,” katanya tak bisa menahan airmata. “Tidak ada yang percaya. Ida sampai pingsan terus. Saya juga. Sedih,” ucapnya mulai terisak.
Baca: Pembunuh Bocah Dalam Kardus Sering Tidur dengan Anak-Anak
Jenasah Neng dimakamkan di pemakaman Kober, Rawalele, Kalideres. “Biarpun ikhlas, buat kami cobaan ini berat,” sahut Syaidah yang mengaku menyerahkan urusan hukum kepada yang berwajib. “Semoga pelaku bisa tertangkap dan mendapat hukuman yang setimpal atas perbuatan kejamnya,” tuturnya pelan.
Nenek 68 tahun ini juga menyesal karena tidak dapat memenuhi permintaan terakhir cucunya.
“Dua minggu sebelum musibah, Neng dengan manja gelendotan sama saya, terus bilang minta dibuatin kamar. ‘Kecil aja enggak apa-apa deh, Nek.’ Saya jawab belum ada uang. Seandainya saja saya masih punya waktu dan bisa membuatkan Neng kamar,” tangis Syaidah semakin menjadi.
“Saya selalu membayangkan betapa sakitnya dia. Neng itu enggak tahan sakit. Sakit dikit pasti merengek. Kalau demam, dia selalu manggil saya atau ibunya. Ini yang masih terus ada di benak saya. Saya enggak kuat bayangin dia jadi begini,” katanya pilu.
Kini, hanya doa yang menjadi teman Syaidah sekaligus sebagai obat rindu pada cucu kesayangan yang telah lebih dulu pergi. “Saya enggak lepas salat dan zikir, mendoakan Neng biar lapang jalannya. Kami semua ikhlas, semoga Neng tenang dan bahagia di sana,” ujar Syaidah.
Selamat jalan, Neng....
Swita Amallia