Kalau suatu saat di toko atau di jalan melihat tas warna-warni khas anak muda, bisa jadi itu tas Maika buatan kami. Saya katakan bisa jadi, karena sekarang banyak yang meniru Maika, meski saat kami mulai dulu, belum ada yang membuat tas seperti itu. Tapi kami tidak berkecil hati. Malah bangga, berarti hasil karya kami diakui dan disukai banyak orang.
Maika merupakan gabungan dari nama suami, Edwin Maidhanie dan nama saya, Ika Yustika Pandunesia. Kami memulai bisnis ini sebetulnya sejak 2003 ketika kami masih tinggal di Bali, daerah asal suami. Saat itu, kami sudah menggunakan merk Maika. Hanya saja, produknya masih berupa kerajinan tangan, gantungan dinding, dan tas. Kebetulan, sejak dulu passion saya mendesain. Saya gemar membuat kerajinan dengan desain saya sendiri.
Di Bali, saya sering melihat produk kerajinan yang harganya mahal buatan luar negeri. Saya pikir, kenapa tidak dibuat sendiri saja? Membuat tas dengan lukisan seharga Rp1 juta, tapi dijual dengan harga Rp200.000-Rp300.000. Dari situlah muncul keinginan untuk membuat kerajinan sendiri dengan harga jual yang tidak terlalu mahal. Saya mulai melukis yang menjadi hobi saya sejak dulu, dan membuatnya seindah mungkin, lalu dibuat tas.
Catnya saya gunakan cat air dan tas lukis itu saya jual dengan harga terjangkau. Syukurlah, langsung diterima masyarakat. Respons atas tas yang saya buat bagus banget, sampai saya sendiri kaget. Kerajinan tangannya sendiri saya buat dari bahan-bahan yang langka dan kain unik. Awalnya, saya senang menjelajahi pasar loak dan berburu kain bagus di sana. Sisa-sisa baju saya gunting dan saya bikin kain perca.
Ternyata keren banget hasilnya dan banyak orang yang menyukai karya saya. Karena responsnya bagus, saya memutuskan untuk fokus menggeluti bidang ini. Kami mulai ikut pameran untuk memperkenalkan tas Maika, dan mulai membeli kain meteran sebagai bahan baku. Namun, seiring berjalannya waktu, kami menyadari kendala yang dihadapi, yaitu tenaga kerja dan bahan baku.
Pindah ke Bandung
Banyak usaha kelas menengah di Bali yang pemiliknya ekspatriat, mendatangkan bahan baku dari negara asalnya, dibuat di Bali, lalu diekspor. Sebetulnya, pernak-pernik banyak tersedia di Bali, tapi bahan baku utama seperti kain tas lebih banyak tersedia di Bandung. Jadi, ketika ada permintaan lagi untuk kerajinan yang saya buat, sulit dipenuhi karena tidak ada lagi bahan bakunya.
Akhirnya, kami memutuskan untuk pindah ke Cimahi, kota asal saya, untuk mendekati bahan baku agar produksi menjadi lebih mudah dan lancar. Apalagi, persaingan bisnis kerajinan di Bali cukup ketat. Tahun 2006, sejak pindah ke Cimahi, Jawa Barat, kami mulai berbisnis tas seperti sekarang. Kami memulainya hanya bertiga, yaitu saya, suami, dan seorang penjahit yang menjadi maklun.
Saya yang membuat desain dan suami bertugas memasarkan. Kami memilih tas karena bagi kami itu bisnis yang paling mungkin untuk dilakukan, mengingat kemampuan masih terbatas. Kami, kan, belum punya pengalaman untuk membuat produk-produk dengan kualitas standar layak jual. Sementara, tingkat presisi dalam pembuatan tas tidak terlalu dibutuhkan. Berbeda sedikit pun masih bisa terjual dan orang tidak terlalu merasakan perbedaannya.
Awalnya, pernah kami dikomplain pembeli karena produknya cacat, meski jumlahnya di bawah satu persen. Sedangkan pembeli lain biasanya menyarankan untuk membuat tas dengan ukuran yang lebih besar. Saat itu kami hanya membuat tas ukuran kecil seperti clutch bag dan compact bag untuk peralatan makeup. Maklum, modal kami, kan, terbatas saat memulai usaha ini, hanya Rp2 juta. Kalaupun membuat tas ukuran yang lebih besar, jumlahnya hanya 3-5 buah.
Desain tas, saya sendiri yang membuat. Desainnya tabrak warna dengan menggunakan kain perca dan mote, yang waktu itu belum ada. Begitu punya ide, langsung saya bikin. Kalau mood sedang bagus, saya bisa stok desain sampai banyak sekaligus. Setelah ada modalnya, barulah dibuat 5-10 buah per desain. Kalau sudah habis, saya ganti desain. Jadi, tidak ada pengulangan desain yang sama. Tidak ada jadwal yang pasti kapan keluar desain baru.
Menyewa Toko
Ternyata banyak yang suka. Kemudian, produksi meningkat jadi 20 buah. Lagi-lagi habis. Rupanya, tas kami mulai disukai orang. Jumlah tas yang diproduksi terus bertambah sampai akhirnya sekali produksi kami membuat 100 buah tas. Ketika itulah, kami mulai pameran. Pertama kali ikut pameran, kami dibantu Pemerintah Kota Cimahi, yaitu Pekan Raya Jakarta (PRJ) tahun 2006.
Kami membawa 132 buah tas yang habis sebelum acara PRJ berakhir. Untuk mengatasi kelangkaan barang, kami ambil tas-tas Maika yang dititipkan secara konsinyasi ke saudara dan teman-teman. Pernah, dalam sehari semua tas yang kami bawa ludes terjual saat pameran di Gasibu, Bandung. Padahal, pameran berlangsung selama dua hari. Hari kedua kami kebingungan karena barang sudah habis.
Mau bikin lagi, kapasitas produksi tidak memungkinkan karena kami masih terkendala modal. Kami memang aktif ikut pameran. Karena tidak memiliki toko sendiri, kami memilih cara konvensional untuk mempromosikan produk, yaitu dengan berburu informasi pameran. Waktu itu, brosur yang kami buat pun masih sederhana, hanya dicetak lalu difotokopi. Yang penting, apa yang bisa dijalankan, kami jalankan.
Sejak itu, produk kami mulai dikenal. Produksi juga mulai rutin karena pesanan terus berdatangan. Kami tidak lagi menggunakan sistem konsinyasi karena ternyata tidak efektif. Perkembangan tas kami cukup menggembirakan. Akhirnya, untuk mendekati pembeli, kami menyewa kios di Pasar Baru, Bandung selama setahun. Seiring waktu berjalan, kami semakin tahu ke mana arah pangsa pasar tas kami.
Dari situlah, tahun 2008 kami mulai mencoba berjualan secara online dengan sistem distributor. Awalnya, suami mencoba beriklan di internet dengan ketentuan yang kami buat sendiri. Cara ini ternyata sangat efektif. Setiap hari, setidaknya kami bisa mendapatkan satu pesanan lewat internet. Ketika penjualan sudah dilakukan lewat distributor dan reseller, akhirnya toko di Pasar Baru kami tutup.
Manfaatkan Distributor
Tidak ada lagi sistem direct selling atau penjualan langsung, yang ada hanya lewat distributor dan reseller. Selain keterbatasan keuangan, saat itu penjualan sebulan di toko sama dengan penjualan sehari lewat internet. Jadi, buat apa toko diteruskan? Belum lagi, tenaga yang dikeluarkan untuk jaga toko dan sebagainya. Secara lokasi pun toko kami kurang strategis, karena terletak di lantai tiga, agak ke belakang, dan kecil. Jadi, nyaris tidak terlihat.
Namun, pengunjung yang ke toilet biasanya menoleh ke toko kami karena melihat tas yang berwarna-warni. Buat saya, itu berarti produk kami cukup eye catching dan diminati. Dulu memang terpikir harus bekerja sama dengan siapa. Kalaupun buka toko, pasti harus mengecek bagus tidaknya lokasi lebih dulu, bagaimana pangsa pasarnya, dan lainnya. Itu membuat kami memiliki terlalu banyak pekerjaan untuk dilakukan.
Lebih baik kami mencoba mendorong distributor untuk menjual produk kami. Kami meniru sistem waralaba meski tidak murni. Orang yang menjual produk kami harus membeli lisensi, juga memiliki stok awal untuk menguasai blocking area tertentu. Misalnya, untuk area Jabodetabek distributor ada di setiap kota, tapi di luar itu distributor hanya ada satu di tiap provinsi.
Syukurlah, ternyata banyak yang berminat untuk berinvestasi dan melakukan blocking area di daerahnya. Awalnya, kami mendapatkan distributor di Jakarta dan Surabaya. Peminatnya memang banyak karena waktu itu belum ada saingan untuk produk kerajinan buatan tangan dengan warna cerah seperti ini. Dari situlah, tas Maika mulai banyak peminatnya, termasuk yang ingin menjadi reseller.
(BERSAMBUNG)
Hasuna Daylailatu, Foto-foto: Agus Dwianto/Nova
(Nomor depan: Konsistensi akan kualitas yang baik membuat nama Maika makin berkibar di seluruh Indonesia. Tak hanya di kota besar, tas buatan Edwin dan Ika ini juga banyak dijual di kota-kota kecil. Produknya pun tak hanya sebatas tas kecil, melainkan sudah merambah ke travel bag dan lainnya. Tak hanya untuk perempuan, produk untuk pria muda pun kini tersedia.)