Tabloidnova.com - Pantai Sanur, Denpasar, Bali, termasuk destinasi wisata paling digemari turis karena keindahan alamnya. Tak hanya elok, Bali pun menyuguhkan beragam pengalaman budaya dalam tradisi yang telah melekat erat selama berabad-abad.
Namun, ada sisi lain yang ditangkap I Made Bagus Wisnu Wisnawa dan I Wayan Narayana Putra saat menyusuri area Sanur. Kedua siswa SMA Negeri 6 Denpasar ini melihat tumpukan sampah mengancam keindahan lingkungan, termasuk Pantai Sanur yang letaknya sekitar 2 kilometer dari sekolah mereka.
"Setiap beberapa periode itu kan kami ada upacara adat, sembahyang. Nah, sampah (dari upacara) ini lama-lama menumpuk. Got-got sering kali penuh sehingga memicu banjir dan membuat kotor," kata Wisnu saat dihubungi Kompas.com, Rabu (30/12/2015).
Tak berhenti di situ. Permasalahan ini mereka utarakan kepada Guru Fisika di sekolah, I Ketut Sinah, untuk mencari solusi alternatif.
Kemudian, memadukan kreativitas dan sains, sampah-sampah organik tadi diubah menjadi bahan bangunan berupa genteng biokomposit. Bahan-bahan genteng ini diambil dari sampah daun janur, enau, pisang, dan pandan.
Proses pembuatan genteng dimulai dari memilah sampah, mengeringkan, lalu mengetes kandungannya. Tahapan ini sangat penting karena bahan-bahan tersebut harus bisa melekat dengan baik.
"Prosesnya memakan waktu sekitar 3 bulan. Semua komposisi kami coba sampai menemukan yang pas," kata Wisnu.
Namun, perjalanan mereka tak selalu mulus. Banyak tantangan dihadapi, salah satunya cuaca yang kurang mendukung.
Wisnu bercerita, percobaan dilakukan pada bulan-bulan rawan hujan, sekitar Januari hingga April. Hal ini membuat proses pengeringan menjadi sulit.
"Tetapi, ternyata kami bisa mengatasi hal itu," ujarnya.
Keunggulan genteng karya mereka, selain ramah lingkungan, adalah bobotnya lebih ringan, yakni hanya 200 gram. Genteng itu lebih ringan dibandingkan material berbahan tanah liat yang beratnya mencapai 500 gram. Berdasarkan uji ketahanan, genteng biokomposit mereka pun terbilang unggul.
"Dari tes yang dilakukan, genteng kami baru pecah saat diberi beban lebih dari 30 kilogram. Kalau dari tanah liat, 20 kilogram saja sudah pecah," ucap Ketut, guru Fisika yang juga membimbing penelitian Wisnu dan Narayana.
Bahkan, karya mereka terbukti mampu menjuarai kompetisi Toyota Eco Youth (TEY) 2015 untuk kategori sains. TEY merupakan kompetisi yang dirancang khusus bagi pelajar sekolah menengah untuk membangun cara berpikir dan berkontribusi nyata terhadap perbaikan lingkungan di sekitar sekolah.
"Kalau kami amati dari beberapa kali penyelenggaraan program TEY ini, partisipasinya semakin meningkat. Artinya, mereka semakin terlibat. Kemudian, tiap sekolah juga melibatkan siswanya, termasuk guru-gurunya untuk semakin peduli dan sadar untuk mencari solusi permasalahan lingkungan sekitar," kata Direktur Corporate and External Affair Directorate PT TMMIN I Made Tangkas kepada Kompas.com, Rabu (2/9/2015).
Saat ini, pengujian tahap akhir sedang dilakukan untuk menguji ketahanan genteng biokomposit terhadap cuaca. Periode pengujian dilakukan bertahap dengan jangka waktu 6 bulan hingga 5 tahun.
"Kami lihat, tahan atau enggak. Rencananya, setelah itu baru akan kami patenkan. Nah, karena nanti kami sudah lulus, yang akan meneruskan adik-adik kelas kami," ucap Wisnu.