Curahan Hati Corry Lubis, Istri Petugas Pajak Yang Terbunuh "Semoga Bayi Ini Menghapus Semua Duka"

By nova.id, Sabtu, 30 April 2016 | 04:14 WIB
Corry Lubis (nova.id)

Tabloidnova.com - Selasa (12/4) pagi, Corry Grace Bunga Lubis (28) menerima pesan singkat di telepon genggam miliknya. Pagi itu, sang suami, Parada Toga Fransriano Siahaan (30), yang bertugas sebagai Juru Sita Penagihan Pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Sibolga, Sumatera Utara, mengabarkan bahwa dirinya telah tiba dengan selamat di Nias. Tak pernah terbersit di benak Corry, bahwa pesan tersebut adalah pesan terakhir yang dikirimkan oleh belahan jiwanya. Parada meninggal dunia dengan tragis saat menjalankan tugasnya. Ia diduga dibunuh oleh seorang pengusaha penunggak pajak berinisial AL.  

Hari Minggu (10/4) adalah kali terakhir aku bertemu dan berbincang dengan suamiku, Parada Toga Fransriano Siahaan. Malam itu, suamiku sudah harus berangkat kembali untuk bertugas di Sibolga. Suamiku sudah bekerja di KPP Pratama Sibolga sejak November 2011. Sejak mengenalnya, aku memang sudah terbiasa dengan jarak yang memisahkan kami. Sebelum bertugas di Sibolga, suamiku sudah pernah ditempatkan di Pematang Siantar dan Rantau Prapat. Sementara aku menetap dan bekerja di Medan. Jadi sejak pacaran hingga menikah pun, aku sudah terbiasa berjauhan dengan suamiku.

Minggu (10/4) itu pun, seperti biasa aku melepas kepergiannya untuk kembali bertugas di Sibolga. Tidak sedikit pun firasat aneh yang kurasakan hari itu. Yang kuingat, sesaat sebelum dia berangkat ke Sibolga, suamiku sempat bertanya padaku. “Kenapa badanku bau sekali, ya?” ujarnya saat itu. Bahkan berulang-ulang dia menanyakan hal itu padaku. Tapi anehnya, aku tidak mencium aroma apa pun dari tubuhnya. “Enggak, ah. Enggak ada bau apa-apa,” jawabku.

Aku tidak pernah menyangka, malam itu menjadi malam terakhir aku bertemu dengan suamiku. Malam itu dia berangkat ke Sibolga dari Medan dan baru tiba di Sibolga Senin (11/4) pagi. Malam harinya, dia langsung bertolak ke Nias dengan menumpang kapal. Barulah Selasa (12/4) pagi dia tiba di Nias. Terakhir aku berkomunikasi dengannya saat dia mengirimkan pesan singkat lewat WhatsApp, Selasa (12/4) pagi pukul 10.37. Sampai saat ini aku masih menyimpan pesan itu. “Aku sudah sampai di hotel. Kapalnya telat,” begitu isi pesan yang kuterima. Menunggu di Medan Setelah itu, aku tidak menerima kabar apa pun lagi. Padahal biasanya, dia masih sesekali mengirimkan pesan dan bertanya soal aktivitasku. Barulah sekitar pukul 17.00 tiba-tiba banyak pesan yang kuterima di telepon genggamku. Aku masih bingung karena semua isi pesannya mengucapkan kalimat turut berduka cita atas kepergian suamiku. Bagai disambar petir, barulah aku menyadari bahwa suamiku telah tiada … Dari pesan-pesan rekan-rekan kerja suamiku, ia meninggal dunia pukul 15.00 di sebuah rumah sakit di Nias. Setelah berdiskusi dengan keluarga dan pihak dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), akhirnya aku memutuskan untuk tidak berangkat ke Nias menjemput jenazah suamiku. Saat itu aku berpikir, biarlah aku menunggu jenazahnya di Medan saja. Apalagi, perjalanan menuju Nias memang cukup berat dan melelahkan. Tapi aku merasa bersyukur karena banyak pihak yang membantu keluarga kami selama proses pemberangkatan jenazah dari Nias menuju Sibolga dan kemudian ke Medan.

Pihak DJP pun ternyata mengadakan upacara penghormatan untuk jenazah suamiku di kantor Sibolga. Bangga rasanya mengetahui bahwa suamiku sangat dihargai dan dihormati oleh atasan dan rekan kerjanya di DJP. Bahkan pihak DJP yang mengusahakan untuk memberangkatkan jenazah suamiku dengan pesawat. Karena jika harus melewati jalur darat, jarak yang ditempuh akan menjadi sangat lama. Aku bersyukur untuk semua kemudahan itu. Tapi lagi-lagi ketegaranku diuji saat jenazah suamiku tiba di rumah. Aku tak kuasa berteriak histeris sesaat setelah melihat peti jenazahnya. Aku terus memeluk foto suamiku erat-erat. Aku tidak menyangka semua ini terjadi padanya, padaku, pada keluarga kami.  

Liburan Terakhir Sampai hari ini pun, aku masih seperti tidak percaya ini semua terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Padahal, dua hari sebelum dia berangkat ke Sibolga, kami baru saja tiba di Medan. Kebetulan aku masih memiliki sisa cuti dan suamiku juga bisa mengajukan cuti. Akhirnya kami berangkat ke Bali di hari Minggu (3/4). Dua hari kami habiskan berlibur di Bali dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Lombok. Barulah di hari Jumat (8/4) kami kembali ke Medan. Saat itu kami senang sekali bisa berlibur bersama. Setidaknya sekarang banyak foto-foto dari liburan kami yang bisa kupandangi sebagai pengobat rindu. Itu kenangan terakhirku dengan suami. Tapi memang ada hal aneh yang sempat kuperhatikan dari sosok suamiku saat kami berlibur di Bali. Waktu itu, kami sempat mengunjungi Monumen Bom Bali di kawasan Legian, Kuta. Hari itu, dia terus melihat dan memandang semua daftar nama-nama korban Bom Bali yang tertera di dinding monumen. Aku tidak tahu tujuannya apa saat itu. Mungkin dia ingin kalau saat dia “pergi”, namanya dikenang banyak orang. Entah kebetulan atau tidak, tapi sekarang seperti itulah yang terjadi. Banyak orang yang mengenang dia. Cinta Jarak Jauh Jika sekarang aku mencoba mengingat kenanganku bersama suami, rasanya semua indah. Dia sangat baik terhadapku, bahkan sejak hari pertama kami bertemu dan berbincang. Di tahun 2005, suatu hari aku berniat untuk mengikuti seleksi masuk Sekolah Tinggi Akutansi Negara (STAN) di Medan. Saat itu, mataku tertuju pada sosok seorang pria.

Aku merasa aku mengenal pria itu sejak lama. Setelah kucoba mengingat-ingat, benar saja, sepertinya dia bersekolah di SD dan SMP yang sama denganku. Kuberanikan diri mendekatinya untuk menanyakan proses pendaftaran seleksi. Kebetulan saat itu ia bertugas sebagai salah satu panitia pendaftaran. Akhirnya kami berbincang dan saat itulah kami saling berkenalan dan menyadari bahwa kami sudah bertemu sejak SD tapi tidak saling mengenal. Ah kenangan manis itu kembali menggelayut dipikiranku...  

Setelah itu, entah dari mana dan bagaimana, tiba-tiba dia berkunjung ke rumahku. Ternyata rumah kami pun berdekatan. Mungkin ini yang dinamakan jodoh. Sejak saat itu, kami semakin dekat dan akhirnya memutuskan untuk berpacaran. Sejak pacaran pun, aku sudah terbiasa dengan jarak jauh yang memisahkan kami. Selama sembilan tahun kami berpacaran jarak jauh, meski dia rutin pulang ke Medan. Saya ingat sekali perkataan dia selama kami berpisah jarak. “Ke mana pun aku pergi, ke dunia manapun, kamu harus yakin kalau aku selalu sayang kamu,” begitu dia selalu berujar. Kami akhirnya menikah di tanggal 15 November 2014 di Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) Air Bersih, Medan. Hari itu menjadi hari yang paling membahagiakan bagiku. Karena setelah berpacaran cukup lama, akhirnya kami bisa melangkah ke pelaminan. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain. Setelah usia pernikahan satu tahun empat bulan, Tuhan memisahkan kami lewat kematian. Hamil Muda Sejak kepergian suamiku, rasa sedih ini tak bisa kubendung. Setiap pagi setelah suamiku tiada, aku sering menangis karena menyadari bahwa aku sudah tidak bersuami lagi. Tidak ada lagi yang akan menanyakan kabarku setiap hari. Tidak akan ada lagi menjadi teman bercandaku.

Tapi kehadiran keluarga, ibu mertua dan mamaku menjadi penyokong yang paling kuat untukku. Kalau tidak ada mereka, aku tidak akan bisa sekuat ini. Apalagi sekarang aku harus menjaga kesehatanku dengan baik. Karena aku sedang hamil.

Ya, aku baru menyadari hal ini setelah banyak teman-teman dan keluarga yang datang melayat dan kebetulan menanyakan kondisi kehamilanku. Padahal saat itu aku belum tahu apa-apa. Aku pun sempat dilanda kebingungan. “Kenapa semua orang mengatakan kalau aku sedang hamil?” pikirku saat itu. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk melakukan tes kehamilan dengan test pack, Kamis (14/4), dua hari setelah kematian suamiku.

Dan ternyata hasilnya positif. Aku hamil. Rasanya belum bisa kupercaya. Aku pun memutuskan untuk pergi memeriksakan diri ke dokter di hari Senin (18/4) lalu. Di sanalah aku mengetahui pasti bahwa aku memang hamil. Usia kehamilanku sudah berjalan lima minggu.

Dari informasi yang kudapat dari teman-teman sekantor suamiku, ternyata menurut mereka, suamiku sudah bercerita pada mereka kalau istrinya sedang hamil muda. Lagi-lagi aku tertegun mendengar hal itu. Memang aku sempat bercerita pada suami kalau aku telat datang bulan. Tapi saat itu aku belum melakukan tes apa pun. Mungkin saat itu dia sudah mengira bahwa aku hamil.