Ada hal tak biasa yang dilakukan sebuah pertunjukan tari pada umumnya, yaitu ‘sengkeran’ atau ‘bebadra’; membangun sarana dasar melalui proses laku batin dengan cara mengurung diri (berpingit). Hal inilah yang dilakukan kelompok tari dari Triardhika Production, pimpinan Eny Sulistyowati SPd, SE.
Mereka melakukan‘bebadra’ jelang pementasan tari Bedhaya Minangkalbu yang akan digelar di Pendopo Kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Solo, Kamis 28 April 2016, pukul 20.00 WIB.
Selain terus mengolah gerak sesuai kebutuhan estetisnya, Eny Sulistyowati mengaku tengah melakukan kontemplasi bersama. Konsentrasi penuh untuk pentas.
“Menjelang satu hari satu malam sebelum pentas nanti kami seakan ‘sengkeran’ (dipingit). Maksudnya, seluruh penari tinggal bersama di satu tempat. Membersihkan diri lahir dan batin, menyatukan rasa, dan doa bersama,” ungkapnya kepada sejumlah Wartawan, di kantor Triardhika Production, di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Selasa (25/4).
Pertunjukan ini menjadi bagian dari perhelatan World Dance Day 2016 ke-10 yang diselenggarakan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, bekerja sama dengan Triardhika Production di kota Solo Jawa Tengah, selama dua hari, (Kamis-Jum’at, 28-29/04/2016).
World Dance Day 2016 diwarnai dengan orasi budaya, diskusi internasional menyoal seni tari, serta penampilan grup musik asal China. Dimeriahkan dengan berbagai pertunjukan seni, baik seni berbasis klasik tradisi, maupun seni kontemporer, serta menampilkan karya fenomenal spektakuler ‘Solo 24 Jam Menari Non-stop,’ serta melibatkan para seniman dari berbagai daerah di Indonesia, serta masyarakat dunia dari dari berbagai manca-negara.
Makrifat Gerak
Tari kolosal Bedhaya ‘Minangkalbu’ berdurasi 25 menit. Tampil dengan sembilan penari profesional, di antaranya ada beberapa penari Bedhaya Keraton Surakarta. Didampingi dua Penyimping (pendamping), dengan iringan 17 Pengrawit (Pemusik), enam orang Sinden (Penyanyi), dengan penata panggung berpengalaman, serta penata rias yang juga dari Keraton Surakarta.
“Saya ingin menampilkan sesuatu yang baru, baik dari segi ide cerita, maupun artistik (kostum dan properti). Tapi tidak meninggalkan konsep Bedhaya yang semestinya. Saya percaya dapat mengantarkan karya ini dengan baik, berkat dukungan tim artistik handal, koreografer hebat, penata gending berbobot, dan tim lainnya. Buat saya Bedhaya Minangkalbu menjadi energi luar biasa,” ujar seniman yang pernah sukses mementaskan pergelaran Ken Dedes Wanita di Balik Tahta dan Wayang Wong (WO) Sriwedari Mahabandhana (Kekuatan Tali-Tali Berbisa) di berbagai kota ini.
Bedhaya merupakan tarian klasik Jawa dengan sembilan penari, yang dikembangkan di kalangan Keraton pewaris tahta sejak jaman Kerajaan Mataram. Dalam mitologi Jawa, sembilan penari, menurut Eny Sulistyowati, menggambarkan sembilan arah mata angin yang dikuasai sembilan dewa (Nawasanga). Atau versi lain menyebut sebagai lambang dari Sembilan Wali atau Wali Songo.
Hal ini secara filosofis menekankan pada simbol mikro dan makro-kosmos. Hubungan timbal balik antara manusia dan jagad (alam). Juga sumber inti meridian organ tubuh manusia yang terhubung dalam konstruksi kejiwaan manusia; ‘nawa yatmaka’ (babahan hawa sembilan).
“Sehingga Bedhaya merupakan perwujudan dari patrap manembah. Banyak nilai diungkapkan, seperti pencarian kesempurnaan hidup, penemuan jatidiri, keserasian, keselarasan, keseimbangan hidup, cinta damai, tentang kawicaksanaan dan laku utama,” papar Eny.
Apa yang berbeda dari karya Bedhaya ‘Minangkalbu’ garapan Eny Sulistyowati ini?
“Bedhaya punya keistimewaan masing-masing. Bedhaya ‘Minangkalbu’ bicara tentang kesejatian diri. Bagaimana menemukan inti kebahagiaan yang tidak berhijab. Meraih hati di dalam hati. Sebuah keikhlasan tanpa batas. Sebuah rasa tanpa rasa. Meski pencapaian itu tidaklah mudah dan ringan. Buata saya inilah makrifat gerak. Bedhaya-ku adalah ibadahku dalam wujud gerak, dan gerakku adalah ibadahku pada Sang Pencipta,” ujar Eny menyudahi penjelasannya.
Tumpak Sidabutar