Tabloidnova.com - Namaku Tiurma Suci Banjarnahor (34). Terlahir sebagai anak keempat dari lima bersaudara keluarga petani miskin dari Desa Sihikkit, Onan Ganjang, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Kedua orangtua kami sudah meninggal dunia ketika kami masih bocah. Selanjutnya kami diasuh Om yang tinggal di Medan hingga aku dewasa.
Tidak banyak lapangan pekerjaan yang tersedia bagiku yang hanya mengenyam pendidikan SD. Beruntung aku masih diterima menjadi seorang baby sitter di rumah dr. Enny. Tugasku mengasuh Sonya, putri sang dokter yang masih balita. Ketika dr. Enny ditugaskan di Desa Nainggolan, Kabupaten Samosir, Sonya, aku ikut.
Selama di Samosir, saban sore kuajak Sonya jalan-jalan ke pantai Danau Toba. Di sanalah aku berkenalan dengan seorang pemuda bernama Jimmy. Ia terlihat baik, sehat dan bugar. Jimmy sering menemuiku di berbagai kesempatan, meski keluarganya kurang setuju Jimmy pacaran denganku. Karenanya kuanggap pertemanan kami akan berakhir begitu saja ketika dr. Enny kembali pindah tugas ke Medan.
Eh, siapa sangka, Jimmy tiba-tiba muncul di hadapanku di Medan, beberapa pekan kemudian. Dia berterus terang dan mengajakku membentuk mahligai rumah tangga. Aku mengangguk setuju, lalu meninggalkan rumah dr. Enny.
Kami menikah di kampung halaman Jimmy tahun 2007, kemudian membantu usaha milik keluarga suami, berupa warung, yang di antaranya menjual bahan bakar minyak untuk kapal
Suami Divonis HIV
April 2009, suamiku merasakan ada benjolan di leher sebelah kanan. Semula dikira tumor, ternyata pembesaran kelenjar getah bening yang disebabkan oleh infeksi kuman tuberculosis (TBC). Gejalanya antara lain sakit tenggorokan, demam, dan susah bernapas. Entah sudah berapa kali melakukan pemeriksaan dokter di RSU Pematang Siantar, sampai habis uang kami, namun tidak kunjung sembuh. Aku sempat bingung, kok ada penyakit enggak bisa sembuh.
Akhirnya mertua menganjurkan agar suamiku berobat ke RS UKI di Jakarta. Aku enggak bisa ikut karena menjaga warung. Baru beberapa hari suami berada di Jakarta, ibu mertuaku, Marulina, menerima telepon dari bapak mertua yang menemani suamiku selama menjalani perawatan di Jakarta. Saat itu aku sedang sibuk meladeni pembeli di warung sehingga tidak sempat menyimak pembicaraan mertua melalui telepon tadi. Berbeda dengan keponakanku, Venesia. Rupanya, diam-diam dia menguping semua pembicaraan neneknya, dan melapor kepadaku. Kabar buruk pun kuterima: suamiku mengidap HIV!
Penjelasan singkat Venesia membuatku kaget setengah mati. Aku menangis meraung-raung, apalagi melihat ibu mertuaku menangis sesunggukan sehabis terima telepon. Sebenarnya aku belum memahami seperti apa HIV, tapi aku yakin itu bukan penyakit biasa. Konon disebabkan perilaku seks bebas dan penderitanya pasti meninggal dunia dalam waktu dekat. Padahal saat itu aku tengah hamil. Aku tidak bisa membayangkan kehidupan anakku tanpa ayah. Itulah yang membuatku sedih.
Masih penasaran, aku juga menelepon bapak mertua untuk konfirmasi tentang penyakit yang diderita suamiku. Beliau mengatakan tidak benar suamiku akan meninggal dunia. “Dia masih sehat, kok,” katanya meyakinkanku. Namun firasatku sudah merasa tidak nyaman. Aku sering menangis bila teringat suamiku.
Setelah menjalani rawat inap selama 2 pekan, pembengkakan di leher suamiku sudah tidak kelihatan. Dia kembali ke Samosir, meski masih harus rutin mengonsumsi obat antiTBC selama 6 bulan. Setelah kami berkumpul, aku mengulik suami tentang perilakunya di masa lalu, pernahkah ia melakukan seks bebas? “Enggak, Dik. Tapi menggunakan jarum suntik bergantian dengan teman. Mungkin, dari sanalah aku tertular HIV,” katanya.
Dia mengaku telah mengonsumsi narkoba menggunakan jarum suntik saat masih tinggal di Jakarta, sekitar 5 tahun sebelumnya. (Kelak aku baru tahu bahwa penyakit infeksi oportunistik akibat HIV-AIDS akan muncul setelah lima tahun sejak terinfeksi, di antaranya infeksi pada paru seperti yang dialami suamiku).