Tinggal di di Australia, Begini Cara Perempuan Indonesia Ajarkan Makna Puasa kepada Anaknya

By nova.id, Jumat, 24 Juni 2016 | 07:01 WIB
Astanti Rachmatiah dengan putri kembarnya Annika dan Nabila. (nova.id)

Tabloidnova.com - Puasa Ramadhan bukan sekadar tidak makan atau minum tetapi memiliki makna spiritual puasa seperti mengontrol hawa nafsu.

Itu yang coba ditanamkan Astanti Rachmatiah, seorang WNI yang tinggal Australia, kepada putri kembarnya.

Astanti yang biasa dipanggil Esty tinggal di Perth sejak menikah dengan seorang pria Australia 16 tahun lalu.

Dari pernikahan ini, Esty dan suaminya dikaruniai putri kembar, Annika dan Nabila, yang sekarang berusia 12 tahun.

"Saya pertama kali mengunjungi Australia sebagai mahasiswa S2 pada 1994-1996. Saya dulu pernah bekerja di Edith Cowan University di Perth, namun sejak kelahiran anak-anak, saya memutuskan fokus membesarkan anak dan total menjadi ibu rumah tangga." kata Esty kepada reporter ABC Australia Plus Indonesia, L Sastra Wijaya.

Menurut Astanti, walau sudah cukup lama menetap di Australia, tetapi setiap Ramadhan tiba dia tetap merasakan kerinduannya terhadap tanah air.

"Terutama di saat berbuka puasa dan menjelang waktu sahur. Kerinduan akan suara adzan yang berkumandang menandakan waktu berbuka telah tiba," kata dia.

"Suasana tarawih pun sangat sulit didapatkan di sini. Terutama karena jarak rumah dan masjid yang tidak dekat dan aktivitas rutin sehari-hari tidak berubah," katanya menambahkan.

Untuk mengatasi kerinduan tersebut maka ketika Ramadhan tiba, Esty akan memasak masakan yang sedikit berbeda dan lebih bernuansa Indonesia untuk berbuka bersama keluarga.

"Namun umumnya hanya di minggu pertama saja, selanjutnya tetap kembali kepada menu yang lebih tepat dengan kondisi keseharian. Toh setelah seminggu anak-anak juga sudah terbiasa dengan suasana puasa dan sudah tidak menuntut masakan yang unik lagi." katanya.

Kegiatan lain adalah sesekali berbuka puasa dengan keluarga Indonesia lainnya di Perth.

"Menjelang tidur malam anak-anak pun biasanya mengganti acara baca buku sebelum tidurnya dengan belajar aqidah Islam yang sederhana dan mudah dicerna oleh mereka."

"Begitu pun di saat menunggu waktu subuh biasanya diselingi dengan mendengarkan kisah para nabi." katanya lagi.

Dalam pengalamannya berkenaan dengan anak-anak di sekolah, Astanti melihat beberapa pengalaman unik ketika kedua putrinya masih duduk di bangku sekolah dasar.

"Sebagai seorang pendatang di negeri asing saya selalu berusaha menyesuaikan diri saya dengan kondisi setempat."

"Hal itu yang selalu saya tanamkan pada anak-anak saya sejak usia dini. Sehingga menjadi minoritas tidak akan memiliki efek negatif dalam kehidupan mereka."

Annika dan Nabila, sama seperti banyak anak-anak Australia lainnya, aktif di sekolah mereka baik di bidang olahraga dan musik.

Baca juga: Kelezatan Menu Buka Puasa di Festival Kuliner 'Ngabuburit' La Piazza Kelapa Gading

Dan Esty memang mendorong kedua putrinya itu agar tetap berkegiatan secara normal meski sedang berpuasa.

"Menurut saya, sebagai pendatang, untuk bisa diterima kita harus bisa menjadi bagian dari lingkungan itu sendiri dulu. Tentunya kita tetap harus melakukan seleksi yang positif." kata Astanti.

Menurutnya, situasi lingkungan di Australia yang sangat berbeda dengan Indonesia, tidak memungkinkan untuk mengajarkan puasa dengan cara yang sama dengan yang dilakukan para orangtua di Indonesia.

"Untuk itu saya memperkenalkan manfaat dan menanamkan kesadaran untuk berpuasa dulu sejak usia dini, bukan kewajibannya kepada anak-anak. Misalnya dengan mengajarkan mereka untuk mengontrol emosi mereka, menahan diri dan menganjurkan mereka untuk puasa dimulai dengan setengah hari ketika mereka di pre-primary." lanjut lulusan S1 Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta tersebut.

Ervan Hardoko / Kompas.com