SMA Bagi Keluarga Miskin: Tujuannya Untuk Memutus Rantai Kemiskinan

By nova.id, Jumat, 15 Juli 2016 | 05:01 WIB
Sekolah keluarga miskin (nova.id)

Pahlawan Bagi Keluarga

Salah seorang lulusan SMA SPi yang cukup berhasil dan kini tetap tinggal dan bekerja di SMA SPI adalah Fatcha (23) asal Jombang  (Jatim). Menurut bungsu dari tiga bersaudara ini, setiap siswa SMA SPI diharapkan bisa menjadi pahlawan, paling tidak pahlawan bagi keluarganya. 

Gadis yang kini mengembangkan usaha di bidang resto tersebut menceritakan bahwa dirinya tumbuh di tengah keluarga yang sangat miskin. “Sejak kelas 3 SD sampai kelas 3 SMP, sepulang sekolah saya harus menjadi pembantu rumah tangga di rumah salah seorang terpandang di desa saya demi membantu ekonomi keluarga,” katanya mengenang.

Saat itu sang ibu menderita diabetes dan lumpuh sehingga tidak bisa beraktivitas. Sementara sang ayah hanya seorang buruh tani di desa. “Mau tidak mau saya harus turun tangan membantu,” cerita Fatcha. Sang ibu sendiri akhirnya meninggal dunia saat Fatcha duduk di bangku kelas 3 SMP.

Setamat SMP, Fatcha mendapat informasi bahwa SMA SPI menerima anak-anak tidak mampu. Bahkan selain dididik sampai tamat SMA secara gratis, juga masih dididik menjadi seorang pengusaha. “Semula saya ragu, kok rasanya tidak mungkin ada SMA yang gratis sama sekali. Tapi ternyata memang benar,” ujar Fatcha.

Dengan disiplin dan kemandirian yang ditanamkan, Fatcha akhirnya berhasil menggapai impian untuk membahagiakan keluarga. Dari gaji dan uang bagi hasil dari keuntungan resto, ia bisa melunasi biaya haji sang ayah. “Insya Allah bapak akan naik haji tahun 2025. Saat ini saya juga sudah membangun rumah di desa,” katanya bangga.

Yang tak kalah bangga adalah Clara Rima Ratna Sari (20). Anak kedua dari tiga bersauadara asal Blitar (Jatim) tersebut selain sudah bisa membantu keluarganya di kampung, wawasan wirausahanya juga sudah berkembang. “Saya kulakan merchandise langsung ke Cina atau paling tidak ke Jakarta,” kata dara cantik bertubuh mungil tersebut.

Tak heran jika harga berbagai merchandise yang ia jual di outletnya di SMA SPI jauh lebih murah dibanding tempat lain. “Kami bukan reseller lagi tetapi sudah masuk kategori agen. Mainan anak atau merchandise lain yang dijual di Museum Angkut, Jatim Park, atau Kebun Binatang Surabaya misalnya, itu kulakannya ke sini,” kata gadis periang tersebut.

Padahal, jika menengok masa lalunya, hiudpnya sangat susah. Orangtuanya yang tinggal di daerah pelosok Blitar hanya pekerja serabutan sehingga hidupnya pas-pasan. “Puji Tuhan akhirnya saya bisa diterima di SMA SPI ini,” kata Clara yang kini sudah bisa membantu keluaraganya membangun rumah.

Salah satu yang membuat anak-anak SPI berhasil adalah karena sejak kelas 1 SMA, mereka sudah diarahkan untuk membuat dream book dan kapan harus mencapainya. Mimpi bukan bersifat abstrak semata tetapi bisa diwujudkan dalam bentuk fisik. Misalnya, bercita-cita membeli jenis handphone merk tertentu dua tahun lagi.  

“Untuk mendorong agar mimpi itu terkabul, maka HP yang diimpikan itu gambarnya ditempel dan disebutkan kapan tenggang waktu harus bisa dicapai,” papar Clara.

Gandhi Wasono M.