Jussy Rizal (2): Perjuangkan Lurik Supaya Diakui Unesco

By nova.id, Jumat, 19 Agustus 2016 | 04:16 WIB
Jussy Rizal (nova.id)

Mempertahankan proses pembuatan lurik dengan alat tenun bukan mesin, bukan sesuatu yang mudah bagi Jussy. Kendala utamanya adalah langkanya sumber daya manusia  yang mampu mengoperasionalkan alat. Di sisi lain ayah satu anak ini memiliki keinginan agar tenun bisa diakui UNESCO sebagai warisan tak benda.

Saya lahir di Bantul,  14 Juli 1986. Lahir, besar dan tumbuh sebagai cucu juragan lurik tidak membuat saya tertarik pada usaha yang dijalankan kakek dari pihak ibu saya, Yuniah. Kakek memiliki tujuh anak. Ibu saya adalah anak kedua kakek. Saya sendiri anak pertama dari dua bersaudara yang dilahirkan ibu.

Mungkin sudah takdir, saya harus mewarisi usaha pembuatan lurik kakek. Seperti cerita saya yang lalu, tidak satu pun anak-anak kakek yang tertarik mempertahankan usaha ini. Karena itulah mau tak mau saya harus belajar soal lurik dari nol. Beruntungnya masih banyak pekerja kakek yang sepun-sepuh yang bisa mengajari saya memproses lurik. Sementara urusan dagang, belajar dari paman saya.

Hingga hari ini masih ada 50 penenun yang sebagian berusia lanjut. Sementara alatnya tersisa 30. Itu alat hasil kanibal pasca gempa bumi 2006.

Hidup adalah pilihan dan saya sudah memilih melestarikan dan megembangkan kain lurik  daripada jadi pekerja kantor. Istri saya, Amalia Rahayu, yang tahun 2008 lalu nyaris diangkat sebagai bidan pegawai negeri sipil di Purwokerto, juga saya minta pulang ke Jogja untuk bersama-sama membesarkan usaha lurik. Istri saya bersedia mengubur keinginannya jadi PNS. Itu satu pengorbanan besar darinya.

Di Jogja, Amalia saya tugasi untuk mengembangkan penjualan produk lewat website, sementara saya urus proses produksi, desain, dan pengembangannya. Tak ada  ilmu yang tidak  bisa dipelajari. Istri yang sudah memberi saya satu anak perempuan ini akhirnya bisa juga mengurus pemasaran lewat website. Sementara ilmu kebidanan yang ia miliki bisa dimanfaatkan di kampung untuk kebaikan warga. Misalnya  mengedukasi di Posyandu.

Terkendala Regenerasi

Lurik melambangkan kesederhanan. Dibuat secara sederhana oleh rakyat biasa di kota dan pedesaan. Karena itu tidak ada literatur yang bisa menerangkan panjang lebar tentang motif-motif lurik yang pada umumnya sederhana dan simple. Itu amat beda dengan batik yang memiliki banyak literatur karena baik dari awalnya dikenakan para priyayi.

Hingga saat ini kami memiliki kurang lebih 50 motif lurik dan semua ragam warna. Motif  kain tradisional biasa untuk keperluan adat, sementara yang modern ada yang untuk seragam sekolah, interior hingga kerajinan.

Pengembangan desain motif lurik bagi kami wajib terus diperbanyak. Sebab selama ini kain lurik, terlebih yang motif garis-garis cokelat, kesan yang timbul dan amat kuat adalah dikenakan abdi dalem keraton atau kusir andong. Karena itu pengembangan motif dan warna harus terus saya lakukan agar masyarakat luas terutama anak-anak muda mau mengenakan lurik.

Awalnya, beberapa pekerja yang sudah sepuh agak ragu membuat inovasi motif dan warna. Mereka masih beranggapan yang namanya lurik ya cokelat, hitam dan biru gelap seperti yang sudah puluhan tahun mereka buat . Nah tugas saya adalah memberikan pengertian dan pandangan-pandangan baru kenapa motif dan warna baru harus diproduksi.

Cara lainnya adalah saya menugasi para penenun muda untuk membuat motif dan warna baru. Setelah hasilnya jadi, saya tunjukkan pada yang sepuh-sepuh. Mereka baru mahfum setelah produk itu laris terjual.