Lajang 27 tahun, bungsu dari 4 bersaudara, ini tak sekadar mengembangkan batik Madura ke kalangan yang lebih luas, tetapi sekaligus berinovasi dengan membuat batik aromaterapi, yakni kain batik yang mengeluarkan aroma wewangian menyegarkan alias batik beraroma bunga. Perjuangan yang diawali sejak mahasiswa itu akhirnya membuahkan hasil. Kini, ia sukses berbisnis batik dengan brand Al Warits. Pesanan pun datang dari berbagai daerah, bahkan manca negara dengan omzet perbulan tak kurang dari Rp500 juta.
Bagiku, keindahan kain batik tak sekadar pada kelembutan kain atau keindahan corak dan warnanya saja. Namun, lebih dari itu, bagaimana selembar kain yang merupakan warisan budaya adiluhung ini memiliki aroma sedap, sehingga membuat pemakainya lebih nyaman saat mengenakannya.
Dari ide itulah, aku kemudian menciptakan batik aromaterapi dan saat ini menjadi produk unggulan bisnisku. Perjalananku untuk bisa mencapai usaha seperti sekarang ini cukup panjang. Aku mengawalinya benar-benar dari bawah.
Tepatnya sejak tahun 2008 ketika aku masih berstatus sebagai mahasiswa STIE Perbanas, Surabaya.
Tak bisa dipungkiri, apa yang kudapat saat ini merupakan bentuk “balas dendam”-ku terhadap lingkungan ketika pertama kali aku menjadi mahasiswa. Ya, aku sempat menjadi bahan olok-olok teman-teman saat kuliah karena berasal dari Madura. Bahkan, seorang satpam kampus memanggilku dengan sebutan “Duro” (Madura-Red). Bagi sebagian orang, masyarakat Madura dipersepsikan dengan keterbelakangan.
Akan tetapi, meski menjadi obyek bullying teman-teman, aku tidak lantas minder. Sebaliknya, aku justru merasa terlecut supaya bisa menjadi yang terbaik di antara mereka. Dan semua itu kubuktikan ketika prestasi akademik yang jauh di atas prestasi teman-temanku, semester demi semester. Baru ketika nilai akademikku lebih tinggi, teman-teman berubah sikap. Mereka jadi lebih menghargaiku dalam pergaulan sehari-hari.
Tak hanya dalam hal pencapaian akademik saja, aku juga terpilih menjadi satu dari empat mahasiswa dan dua dosen untuk mengikuti Auditing Student Program (ASP) selama sebulan penuh bersama peserta dari berbagai negara di Edith Cowan University Australia, secara cuma-cuma. Kesempatan itu tentu saja sangat membanggakan buatku, karena aku dapat menunjukkan kepada keluarga maupun teman di kampus bahwa aku punya prestasi. Dalam perjalanan berikutnya, aku juga terpilih menjadi anggota Badan Perwakilan Mahasiswa.
Ide Batik Wangi
Ketika di Australia itulah, niatku untuk mengembangkan batik semakin kuat. Ceritanya, sebelum berangkat mengikuti program ASP ke Australia, pihak penyelenggara meminta setiap peserta untuk mempresentasikan satu hasil karya dari negara atau daerahnya masing-masing di depan peserta dari negara lain. Pemaparan itu mulai dari proses, sejarah, sampai bagaimana karya tersebut memiliki nilai ekonomi.
Pertama aku bingung mau menampilkan apa. Tetapi, setelah melalui berbagai pertimbangan, aku akhirnya memutuskan untuk mempresentasikan batik Madura. Kebetulan, keluarga kami juga pembatik dan tinggal di Kecamatan Tanjung Bumi, Bangkalan, daerah yang dikenal sebagai salah satu sentra batik di Madura.
Ketika mempresentasikan proses pembuatan batik beserta nilai ekonomisnya di depan mahasiswa dan dosen di Australia, semua terperangah. Mereka mengakui, batik, dengan proses pembuatan yang begitu rumit dan penuh ketelatenan, adalah sebuah karya seni bernilai tinggi, tak ubahnya seperti seni lukis atau karya-karya seni yang lain.
Munculnya gagasan untuk membuat batik aromaterapi sendiri datang secara tiba-tiba. Ceritanya saat berada di Australia, kulihat ada sebuah ruangan di mana di dalamnya ditempatkan berbagai benda bernilai dari banyak negara. Dari Indonesia, kulihat hanya ada sebuah bongkahan kayu cendana yang di bawahnya tidak ditulis dari Indonesia tetapi Yogya.