Perempuan kelahiran Malang, 2 Desember 1987 ini memilih memasyarakatkan dongeng sebagai sarana komunikasi interaktif orangtua dan anak. Lulusan Master Psikologi Anak,Universitas Indonesia ini juga nekat mencetak buku dongeng sendiri. Tak sia-sia, delapan buku cerita anak-anak dengan bendera Rabbit Hole laris di pasaran.
Bagaimana awal mula bisa mencetak buku cerita anak?
Saya memiliki latar belakang pendidikan psikologi dan berprofesi sebagai psikolog anak. Ketika praktik, saya menemukan banyaknya masalah komunikasi antara orangtua dan anak. Saya kemudian melakukan riset dan menemukan bahwa solusi yang bisa dilakukan agar komunikasi yang terjalin antara orangtua dan anak berjalan baik adalah lewat buku cerita.
Saya kemudian mempraktikan dengan membacakan buku cerita kepada anak-anak. Hasilnya, terjadi bonding yang kuat antara saya dan anak-anak yang saya bacakan buku cerita tadi. Nah, kalau saya saja bisa menjalin hubungan yang baik dengan anak-anak lewat buku cerita, tentu akan lebih maksimal kalau ini dilakukan orangtua secara rutin, karena merekalah yang sehari-harinya bersama anak tersebut.
Saya terus mengedukasi orangtua dan memberikan masukan untuk membacakan buku cerita. Dari hasil diskusi dengan orangtua, saya mendapatkan masukan yang akhirnya mendorong saya untuk menulis buku cerita.
Apa saja masukan dari orangtua?
Mereka bilang, mereka mau saja membacakan buku cerita. Masalahnya, buku cerita interaktif seperti yang saya sarankan dengan bahasa Indonesia susah dicari. Kalaupun ada, itu masuk ke buku impor yang harganya tidak terjangkau.
Saya pikir, karena saya hobi menulis dan sudah dibekali ilmu psikologi anak dan paham kebutuhan anak, kenapa bukan saya yang membuatkan buku ceritanya. Dua bulan pengerjaan, akhirnya keluarlah buku cerita anak karya saya berjudul Asal Mula Namaku dengan bendera Rabbit Hole pada Agustus 2014 lalu.
Bisa Anda ceritakan inspirasi saat membuat buku tersebut?
Saya melihat, anak-anak yang seharusnya bermain sudah dipaksa belajar calistung. Karena memang belum waktunya, biasanya anak-anak ini hanya seperti menghapal tanpa bisa memahami calistung. Nah, saya prihatin melihat kondisi ini, kemudian terinspirasi mengajarkan mereka mengenali huruf dengan cara yang menyenangkan. Nah, dalam buku cerita Asal Mula Namaku, saya mengenalkan lima huruf vokal dan menggambarkannya dengan benda yang ada di sekitar. Tak hanya agar mereka mudah mengenali, tetapi juga membuat gambar yang menarik dan membuat anak-anak tak lepas dari buku.
Kenapa Anda mengusung nama Rabbit Hole?
Saya memilih nama Rabbit Hole, karena saya memang suka cerita Alice In The Wonderland. Alice adalah perempuan biasa yang kemudian masuk ke dalam Rabbit Hole dan akhirnya menemukan berbagai pengalaman hidup yang luar biasa. Nah, filosofisnya sih, saya menginginkan anak-anak yang membaca buku Rabbit Hole juga bisa menemukan pengalaman yang luar biasa.
Sejak kapan hobi menulis?
Sebenarnya suka menulis karena awalnya suka membaca. Saya dari kecil sering diberikan buku sama orangtua. Kemudian mulai menulis ketika mulai SMA. Memulainya dengan blog. Saya dulu bahkan pernah bercita-cita jadi penulis dan ketika hendak ambil jurusan kuliah, saya pikir kalau saya ambil psikologi maka saya akan bisa mendalami karakter dengan belajar berbagai macam kepribadian sehingga tulisan menjadi kaya.
Dulu, sih, tulisannya memang seperti cerpen dan novel untuk remaja, belum pernah menulis buku cerita anak. Nah, ketika sudah kuliah dan praktik, saya sibuk, jadi tidak pernah menulis lagi. Bahkan sempat saya kubur dalam-dalam cita-cita menjadi penulis. Ha ha ha. Nah, ketika buku cerita saya mendapat respons yang baik, jadi keterusan deh.
Bagaimana perkembangan Rabbit Hole sekarang?
Setelah Asal Mula Namaku diluncurkan, saya masih praktik di klinik dan membagi waktu untuk menulis buku. Tadinya, kan, saya anggap menulis buku hanya sekadar hobi, jadi saya masih bisa memberikan konsultasi dan praktik. Ternyata saya melihat ada perkembangan yang bagus dari buku cerita yang saya buat. Responsnya di luar perkiraan, sehingga saya akhirnya fokus dengan Rabbit Hole dan meninggalkan praktik. Saya jadi produktif membuat buku kedua, hingga kini sudah jadi buku cerita kedelapan.