Pasangan Sering Membantu Keluarga Besar? Boleh, Asal…

By nova.id, Selasa, 13 September 2016 | 03:00 WIB
Pasangan Sering Membantu Keluarga Besar? Boleh, Asal… (nova.id)

Widiawati Bayu, Psikolog dari  Kasandra Psychological Practice menjelaskan hal ini membuat kita peka pada kesulitan orang lain yang mana akan membuat kita memiliki sikap empati yakni dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.

“Ketika menikah, bukan saja penyatuan cinta dari dua individu laki-laki dan perempuan, namun ada penyatuan dua keluarga kedua pasangan menjadi sebuah keluarga besar.”

Yang dimaksud dengan keluarga besar tersebut bisa saudara kandung kakak beradik, tante dan om, bude pakde, dan keponakan.

“Keberadaan mereka secara sosial ekonomi tidaklah sama, mungkin ada yang mapan, menengah atau kurang mapan. Dengan perbedaan sosial ekonomi seperti ini, kadang saudara yang hidupnya kurang mapan suatu saat akan meminta bantuan kepada saudara yang lebih mapan kehidupannya.”

Bantuan yang diminta tidak hanya masalah keuangan, namun bisa dalam bentuk barang atau meminta bantuan referensi dan lain sebagainya.

Baca: Ipar "Menggerogoti" Keuangan Keluarga

Namun, ada beberapa hal yang perlu cermati sebelum memberi bantuan:

1. Apa bentuk keperluannya? Mendesak atau dapat ditunda?

2.Lihat Kondisi Keuangan. Melihat pengeluaran per bulan berdasarkan pos-pos tertentu seperti pengeluaran rumah tangga, biaya pendidikan, asuransi dan lain-lain.

3. Mempelajari karakteristik peminta bantuan apakah memang benar-benar butuh. Atau ada kecenderungan suka meminta. “Kalau suka meminta, kita harus berani bersikap tegas untuk tidak membantu.”

Amati Sejak Pacaran

Perbedaan kultur dalam keluarga sangat berpengaruh dalam hal memberikan bantuan. Ada keluarga yang saling membantu jika keluarga lain dalam kesulitan, ada juga yang enggan membantu kalau tidak diminta secara langsung, atau tidak mau membantu sama sekali karena dianggap harus mandiri atau mampu dalam hal keuangan.

Hal ini harus dimengerti pasangan jika berbeda kulturnya, kalau bisa jauh sebelum menikah atau saat pacaran. Jadi, saat menikah sudah memahami kebiasaan tersebut sehingga tidak menimbulkan cekcok. Paling tidak bisa meminimalisir konflik atau tidak kaget lagi mengenali kebiasaan yang terjadi.

Gali terus apa yang menjadi kebiasaan keluarga pasangan, apa sistem nilai yang dianut, bagaimana konsep tentang kekerabatan, termasuk soal membiayai ipar-iparnya jika ada yang harus ditanggung.

“Apapun bentuknya, sebaiknya hal ini dibicarakan bersama pasangan melalui komunikasi terbuka. Diskusi dibutuhkan untuk memutuskan berapa jumlah uang yang perlu diberikan, apakah diberikan langsung tunai atau dalam bentuk cicilan atau diberikan kepada pihak ketiga.”

Baca: Mengambil Hati Keluarga Pasangan

Mengapa ini penting diperhatikan? “Tujuannya tak lain agar uang tersebut tepat sasaran dan tidak dipergunakan untuk hal lainnya. Diskusi dengan pasangan diperlukan untuk menghindari salah paham, perasaan tidak dihargai karena tidak diajak bicara, pikiran negatif pada pasangan, agar tidak merasa dibohongi, dan tentu saja untuk menghindari konflik.” 

Berikan Alasan

Namun, tentu saja tak semua komunikasi berjalan lancar. Ada kasus tertentu dimana pasangan tidak kompromi terlebih dahulu sehingga bantuan diberikan tanpa sepengetahuan pasangan lainnya.

“Bisa jadi hal ini karena pasangan mencari praktisnya saja atau kurang adanya waktu untuk diskusi.”

Bila suatu saat pemberian ini akan diketahui pasangannya dan ia tidak berkenan di hati, tentu akan membuat suasana hubungan mereka tidak nyaman. “Kasus tersebut bisa jadi pengecualian karena situasi tertentu.”

Baca: Kenali 11 Karakter Mertua

Untuk mencegah konflik diharapkan pasangan memberitahukan alasannya, yang penting alasan tersebut dapat masuk akal.

“Akan tetapi, jika konflik tidak dapat dihindari, tidak ada salahnya kedua pasangan duduk bersama dan mencari solusinya. Komitmen yang pernah disepakati bukan harga mati tetapi dapat direvisi terutama ketika menghadapi persoalan dengan situasi yang sifatnya diluar dugaan.”

Konflik suami istri ini diharapkan tidak berlarut-larut dan tidak perlu melibatkan anggota keluarga lain terutama tidak melibatkan anak. “Mereka harus bersikap bijaksana dan melokalisir persoalan hanya untuk mereka berdua.”

Noverita K. Waldan