Kisah Difabel Penyabet Medali Paralympic

By nova.id, Sabtu, 22 Oktober 2016 | 05:01 WIB
Ni Nengah Widiasih (nova.id)

Kondisi fisik yang tidak sempurna tak membuatnya berhenti mengejar mimpi. Lewat angkat berat, ia menorehkan prestasi tingkat dunia yang membanggakan keluarga dan bangsa.

Namaku Ni Nengah Widiasih. Umurku tepat 24 tahun pada 12 Desember. Aku anak kedua dari empat bersaudara. Bapakku bernama I Gede Gambar dan ibuku Ni Luh Bingin. Kakakku bernama I Gede Suantaka, sementara dua adikku masing-masing I Komang Witawan Putra dan I Ketut Rupawan. Aku adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga. Karena itu bapak sering menyebutku bidadari kedua di keluarga. Bidadari pertama tentu saja ibu. Aku dibesarkan dalam keluarga yang penuh kehangatan. Mereka selalu memberikan support untukku. Bapak ibuku petani. Kami hidup sederhana dan tinggal di kaki Gunung Agung, Bali. Meskipun wilayah pegunungan, namun kondisi topografis di sana kering lantaran bersebelahan dengan laut. Oleh sebab itulah, masyarakat di sekitar tempatku tinggal di Banjar Bukit, Sukadana, Kecamatan Kubu, Karangasem, Bali menggantungkan hidupnya dari bertani atau menjadi nelayan. Aku lahir seperti bayi lain pada umumnya. Tak ada yang aneh. Namun, saat umur tiga tahun, menurut cerita bapak dan ibu, suhu badanku mendadak tinggi. Belakangan aku divonis polio di bagian kaki kiri. Dan sejak umur empat tahun, cara jalanku tidak sempurna seperti orang-orang kebanyakan. Kakiku mengecil. Aku sendiri tidak tahu apakah aku tidak diberi vaksin polio waktu kecil. Yang jelas, ini adalah kondisi yang harus kuterima.  

Meskipun difabel, orangtua memperlakukanku tak beda dengan tiga saudaraku lainnya. Perlu diketahui, kakak pertamaku juga difabel, sementara dua adikku tumbuh normal seperti orang-orang kebanyakan. Meski aku dan kakakku difabel, toh, aku tetap bermain seperti anak-anak lain. Aku juga bersekolah.

Aku sendiri tak pernah mengira jika di kemudian hari bisa menjadi atlet dan mengharumkan nama bangsa lewat olahraga. Aku tak membayangkan menjadi atlet angkat berat, salah satu  cabang olahraga bergengsi dalam sebuah kompetisi.

Gym Orang Asing

Kisah hidupku menjadi seorang lifter dimulai sejak bapak dan ibu menyekolahkanku di YPAC Jimbaran Bali. Aku masuk di YPAC sejak kelas IV SD. Entah mengapa, ketika kakakku I Gede Suantaka berlatih angkat berat, aku tertarik ikut-ikutan. Lagipula banyak teman-temanku yang juga senang berlatih angkat berat. Bisa dibilang, aku menggeluti olaharaga ini secara tidak sengaja. Awalnya hanya terpengaruh lingkungan dan sekadar coba-coba, aku lantas sering ikut berlatih di YPAC bersama  teman-teman dan kakakku. Karena coba-coba, apalagi saat itu masih anak-anak, yang penting aku senang saja. Meski fasilitas di YPAC kurang lengkap, aku tetap enjoy berlatih. Mungkin ini anugerah Tuhan, ya. Secara tidak sadar aku mengasah talenta yang diberikan-Nya lewat kebiasanku berlatih. Aku masih ingat, saat itu ada seorang pelatih yang setia mengajariku. Namanya I Ketut Mija. Beliaulah yang pertama mengajariku angkat berat secara benar. Beliau begitu sabar. Ia selalu menungguiku di sekolah hanya untuk mengajakku berlatih. Maklum, saat itu kan aku masih kecil, masih senang bermain. Jadi, kalau dituntut berlatih setiap hari sepertinya menjadi beban. Singkat cerita, aku ikut Kejurnas di Bali  tahun 2006. Entah alasannya apa, aku masuk menjadi peserta Kejurnas yang mewakili Provinsi Bali. Karena Bali menjadi tuan rumah, maka segala persiapan pun digenjot. Aku ikut pelatihan selama tiga bulan. Dan akhirnya, buah ketekunanku berlatih setiap hari terbayarkan. Aku, untuk pertama kalinya, berhasil menyabet medali emas dari nomor angkat berat Kejurnas. Waktu itu angkatanku masih sedikit, kalau tidak salah 45 kg, dan aku masih kelas 6 SD. Lulus SD, aku langsung melanjutkan SMP di YPAC Jimbaran Bali. Di SMP, aku tetap rutin berlatih. Bibit-bibit cinta pada olahraga angkat berat pun tumbuh saat itu. Mungkin karena banyak yang menyadari bakatku, aku pun kemudian sering dipanggil masuk Pelatnas mulai SMP.

Di angkat berat, seorang atlet harus selalu berlatih. Sehari saja absen latihan, maka harus dimulai dari nol lagi. Saat di Bali, aku berlatih di salah satu gym milik orang asing yang menikahi gadis Bali. Orang ini memang concern dengan difabel dengan mendirikan Yayasan BSF di Sanur, Bali. Dia mengajak kalangan difabel untuk berlatih di tempatnya tanpa dipatok biaya alias gratis. Selain menyediakan peralatan angkat berat, yayasan tersebut juga membelikan berbagai perlengkapan untuk olahraga basket.

Menekuni olahraga angkat berat bukanlah hal mudah. Aku kerap kali cedera, keseleo dan tulang robek. Tapi itu semua kujalani dengan ikhlas. Prinsipku, apa yang kurintis ini memang berat, tetapi usaha dan ketekunannku pasti tak akan sia-sia. Tuhan tidak akan tinggal diam.

Belajar di Sela Latihan

Aku pertama kali masuk Pelatnas tahun 2007 menjadi wakil di ajang Asean Para Games di Thailand tahun 2008. Itu menjadi kesempatan pertamaku berkompetisi di tingkat Asia Tenggara. Syukurlah, buah kerja kerasku terbayarkan. Aku pulang tidak dengan tangan kosong. Aku mendapatkan medali perunggu. Setelah itu, aku rajin mengikuti berbagai kejuaraan, mulai Asean Para Games, Asian Para Games, bahkan Paralympic Games. Meski langganan ikut kompetisi, aku tidak melupakan pendidikan. Setelah lulus dari SMP, aku melanjutkan ke SMA Nusa Dua, Bali.

Aku bisa melanjutkan di sekolah umum lantaran prestasiku. Aku sering menjuarai kompetisi angkat berat. Nah, piagam dan trofi itulah yang menjadi bukti bagiku untuk mendaftar SMA. Aku pun langsung diterima di SMA Dwi Jendra Bualu. Bahkan ketika kubilang ke pihak sekolah bahwa aku akan sering meninggalkan sekolah karena harus ikut Pelatnas, sambutan pihak sekolah pun sangat baik. Mereka menerimanya, toh, semua prestasiku bisa mengangkat nama sekolah.

Setelah Asean Para Games 2008 di Thailand, aku mengikuti Asean Para Games di Malaysia tahun 2009. Perolehan medaliku meningkat, dari medali perunggu menjadi perak. Tahun 2011 aku  ikut Asean Para Games di Solo. Kala itu aku mendapatkan medali emas. Namun, ketika pertama kali ikut Asian Para Games 2010 di Guangzhou, Tiongkok, aku hanya menduduki peringkat empat. Meski rajin ikut kompetisi, aku tak pernah melupakan urusan pendidikan dan tetap rajin belajar. Di sela-sela mengikuti Pelatnas, aku selalu membaca buku-buku pelajaran. Saat kelas 2 SMA, aku pernah absen mengikuti pelajaran selama setahun lantaran mengikuti Pelatnas. Ketika itu tahun 2011, aku tengah mempersiapkan diri menuju Paralympic Games di London 2012. Tapi, pihak sekolah memaklumi, dan baru setelah ikut Olimpiade, aku ikut ujian kenaikan kelas 3 SMA. Di Olimpiade London aku memang tidak mendapatkan medali dan hanya menghuni peringkat lima besar. Meski tidak mendapat medali, aku melihat sisi positifnya. Peringkat duniaku naik, dari peringkat tujuh menjadi lima. Saat SMA aku memang sering wira-wiri Pelatnas dan Bali. Semua itu kujalani tak lebih karena keinginanku untuk tidak menginggalkan sekolah. Langsung Telepon Orangtua