Mengenal Chef Sarwan, Master Chef Yang “Tak Bisa” Memasak

By nova.id, Minggu, 13 November 2016 | 05:09 WIB
Chef Sarwan (nova.id)

Perjalanan hidupnya bak roda pedati. Karena kondisi keuangan yang kekurangan, untuk menghidupi keluarga, ia berjerih payah menjadi cleaning service. Nasibnya berubah total tatkala sang majikan yang baik hati mendorongnya untuk ikut dalam audisi lomba memasak di salah satu stasiun televisi swasta. Namanya pun kemudian melambung di dunia kuliner. Padahal, dia sama sekali tak punya bakat memasak. “Saya bisa jadi seperti ini benar-benar karena kuasa Allah,” katanya. Berikut curahan hati Chef Sarwan (45) saat ditemui NOVA di rumahnya di Desa Ketajen, Kec. Gedangan, Kab. Sidoarjo (Jatim), Selasa (1/11).

Jangankan orang lain, aku sendiri pun tak pernah bermimpi atau punya angan-angan kelak bisa menjadi chef terkenal seperti saat ini. Kini, aku semakin mengagumi kekuasaan Allah. Bagaimana tidak, aku yang dulunya berlatar belakang orang sangat tidak mampu, dalam waktu tak begitu lama aku bisa menjadi seperti saat ini. Itu semua karena kuasa Allah. Karena itu, pada setiap tarikan napasku, aku tak henti mengucap syukur kepada Allah yang terlah melimpahkan rezeki tak terhingga padaku.

Aku adalah anak tunggal dari pasangan Mukhsan dan ibu Hj. Choirotun (75). Aku tak sempat melihat wajah bapak, sebab ketika usiaku baru tiga bulan, bapak meninggal dunia. Saat itu kami tinggal di Bojonegoro (Jatim), tanah kelahiran bapak dan ibu. Ketika aku duduk di bangku SD, ibu menikah lagi dengan H. Abdul Salam. Ibu kemudian diboyong ke Desa Ketajen, tempat tinggal kami sekarang. Setelah lulus SD, aku menyusul tinggal bersama ibu, Pak Abdul Karim, dan tiga kakak perempuan anak bawaan Pak Abdul  Karim.

Di Desa Ketajen, aku melanjutkan ke SMP dan SMA di Gedangan, Sidoarjo, dekat tempat tinggal kami. Dulu, bapak tiriku ini memang cukup kaya. Namun, setelah beliau berumur, terjadi sedikit gesekan dengan anak-anaknya sehingga hingga menjelang meninggalnya, bapak dan ibu justru memilih tinggal bersamaku.

Karena keadaan ekonomi yang pas-pasan, setamat SMA aku bekerja di sebuah pabrik tali plastik di dekat rumah. Nah, pada saat bekerja di pabrik plastik itu, terjadi sebuah peristiwa yang membuat bagian ujung dua jari telunjuk dan jari tengah tangan kananku terpotong. Ceritanya, aku dapat jadwal kerja malam hari. Pas kerja malam hari itu entah kenapa aku meleng dan tanpa sengaja pisau pemotong yang sangat tajam memotong kedua ujung jariku. Saking tajamnya pisau itu, sampai-sampai saat jariku terpotong aku tak merasakan apa-. Tahu-tahu mesin sudah penuh darah.

Dipercaya Pemilik Foto Kopi

Perusahaan plastik itu akhirnya bangkrut dan tutup. Jadilah aku menganggur selama beberapa waktu. Alhamdulillah, beberapa saat kemudian aku mendapat pekerjaan sebagai petugas cleaning service di sebuah perusahaan penyedia jasa tenaga kerja atau outsourcing di Waru, Sidoarjo.

Pekerjaannku sehari-hari, selain bersih-bersih layaknya seorang petugas cleaning service, juga sebagai pesuruh. Entah membeli sesuatu, atau yang sering adalah memfoto kopi dokumen-dokumen perusahaan. Soal foto kopi ini aku punya cerita. Karena sudah menjadi langganan, lama-kelamaan hubunganku dengan tacik (panggilan untuk kakak perempuan, Red.) pemilik foto kopi di Waru sangat baik. Itu tak lepas dari sikapku yang bisa mengambil hatinya. Setiap kali aku pergi memfoto kopi, dan kebetulan pelanggan foto kopi itu sedang ramai, aku tidak tinggal diam dan langsung ikut membantu-bantu tacik.

Karena kedekatan itu, tak jarang aku diberi kebebasan untuk mengambil makanan dan minuman di sana. Tak hanya itu, saking percayanya kepadaku, tacik juga memintaku memilih salah motor bekas yang ada di showroom miliknya. Semula aku menolak, soalnya aku tak punya uang untuk mencicil. Tetapi, tacik yang baik hati itu meminta aku membayar kalau pas punya uang saja. Tentu aku bahagia sekali. Motor jenis bebek itu adalah motor pertamaku. Dengan sepeda motor itu, aku tak perlu lagi naik sepeda pancal setiap hari dari rumah ke kantor yang berjarak sekitar 10km.

Delapan tahun bekerja di perusahaan tersebut, aku kemudian menikah dengan Umiyatin (38). Sebenarnya, hubunganku dengan istriku itu tanpa melalui proses pacaran. Ceritanya, saat itu aku sedang pulang ke Bojonegoro. Eh, oleh nenek aku langsung dijodohkan dengan Umiyatin yang saat itu tengah berada di pondok pesantren. He he he.

Setelah menikah, aku membawa istriku ke Desa Ketajen. Karena hanya bekerja sebagai seorang cleaning service dan juga masih harus membantu ibu, maka kondisi kehidupan kami pun sangat sederhana.

Majikan Berhati Mulia