Penyebab Anak Perempuan Jadi Tomboi dan Dampaknya Ketika Dewasa

By nova.id, Minggu, 18 Juni 2017 | 09:15 WIB
Apa penyebab anak perempuan jadi tomboi? Seperti apa dampaknya ketika dewasa? (nova.id)

Ketika dianugerahi anak perempuan, tentu hal yang wajar jika banyak orangtua mengharapkan ia tampil anggun, cantik, dan rapi. Namun, apa yang terjadi jika sebaliknya?

Misalnya, jika buah hati justru tak mau sisiran, malas keramas, ogah memakai rok, menolak memakai bedak, penginnya justru berambut pendek dan suka main panjat pohon.

Menurut Dani Tri Astuti, M.Psi., Psikolog dari Bee Development Center, orangtua memang sering khawatir jika anaknya cenderung slordig atau tomboi. Mereka takut  sikap tersebut akan menetap dan membentuk kepribadiannya hingga ia dewasa.

Slordig berasal dari bahasa Belanda, yang memiliki arti sikap tidak peduli, tampil apa adanya, cuek, bahkan terkesan jorok. Baginya, keteraturan tidaklah penting, menggampangkan sesuatu merupakan hal yang dianggap biasa olehnya.

Umumnya, orang seperti ini memiliki need of achivement (hasrat berprestasi) yang rendah. Dengan kata lain baginya ambisi dan aspirasi tidaklah penting. Hidupnya seperti air mengalir, segalanya berjalan biasa saja, tidak ada yang harus diraih.

Namun, jika terus dibiarkan maka saat remaja dan dewasa nantinya anak akan menjadi pribadi yang pasif dan kurang dapat bersaing.

Sedangkan tomboi adalah seorang perempuan yang memiliki sifat atau perilaku yang dianggap masyarakat sebagai peran gender laki-laki. Misalnya, mengenakan pakaian yang maskulin atau bermain permainan yang dianggap sebagai permainan laki-laki.

Alhasil, saat anak perempuan menunjukkan kecenderungan slordig dan tomboi, orangtua cemas. Apalagi saat ini banyak sekali informasi tentang pergaulan anak zaman sekarang yang tak sesuai norma. Misalnya, ibu khawatir anak gadis yang tomboi kelak orientasi seksualnya akan berubah seiring usia bertambah.

Baca: 7 Pola Asuh Penyebab LGBT Menurut Elly Risman

Apa penyebabnya?

1. Gen dan Pola Asuh

Dalam psikologi, kepribadian seseorang dipengaruhi oleh dua hal, yaitu gen dan lingkungan. Faktor gen merupakan faktor bawaan sifat yang diturunkan oleh ayah dan ibunya. Nah, kepribadian seseorang saat dewasa merupakan manifestasi dari masa kanak-kanak. 

Tanpa disadari orangtua, pola asuh, modelling dan proses learning pada anak-anak sudah dipelajari sejak lahir. Lalu, siapa yang menjadi role model anak untuk pertama kali? Tentu saja orangtua. Misalnya, pola asuh terkait peran gender sebagai perempuan dan sebagai laki-laki.

Anak akan melihat bagaimana harus berperan sebagai perempuan yang sesungguhnya melalui contoh yaitu ibunya. Disini proses belajar dan modelling berjalan. Anak perempuan mulai melihat cara berpakaian sebagai perempuan saat melihat ibunya dan bagaimana cara berpakaian sebagai laki-laki yang ia contoh dari ayahnya.

Begitu pula dengan sikap slordig. Sikap dan perilaku anak-anak merupakan cerminan dari orangtuanya. Lingkungan keluarga merupakan tempat pertama mereka belajar segala hal. Lingkungan keluarga memiliki pengaruh besar.

Baca: 5 Perilaku Anak Akibat Salah Pola Asuh

2. Lingkungan Pergaulan

Akan tetapi, lingkungan sekitar juga memiliki pengaruh yang besar. Contohnya, pertemanan anak-anak dan sosok yang diidolakan.

Selain itu, perlu diperhatikan penyebab lain seperti kemungkinan menyontoh lingkungan dari orang terdekat, serial teve, teman-teman di lingkungannya yang mayoritas laki-laki. Atau bisa juga disebabkan oleh komentar negatif yang didapat anak saat mengenakan pakaian feminin.

“Maka perlu diingat para orangtua, memberi komentar baik negatif maupun positif dapat sangat membekas dalam ingatan anak. Maka sebelum mengeluarkan komentar, hendaklah dipikirkan terlebih dahulu."

Selain itu, "Kita tidak bisa membatasi pergaulan anak, sehingga kita harus menanamkan pondasi yang kuat agar anak memiliki self concept yang positif. Dengan demikian, mengurangi kemungkinan anak dapat pengaruh yang negatif dari luar,” tegas Dani.

Baca: Terkait Pola Asuh, Mengapa Orangtua Saling Bersaing?

Bagaimana cara terbaik menyikapinya?

1. Kontrol Emosi

Dengan kontrol emosi yang baik maka ekspresi emosi yang ditampilkan juga akan baik, sehingga sikap dan perilaku ibu akan membuat nyaman orang di sekelilingnya, khususnya anak.

2. Buat Anak Nyaman

Buatlah anak nyaman jika bersama ibu maupun ayah. Buat iklim di dalam keluarga menjadi keluarga yang hangat, nyaman, sehingga anak dapat mengungkapkan ekspresi emosinya dengan tepat. Salah satu cara agar anak nyaman bila berada di sekitar orangtua adalah menanamkan rasa percaya (trust).

3. Komunikasi

Jika sudah ada rasa percaya, maka komunikasi antara anak dengan orangtua akan berjalan dengan baik. Melalui komunikasi pula, kita dapat mengetahui sejauh mana kemampuan berpikir anak dan pemahamannya.

Sehingga jika kita menemukan indikasi yang tidak sesuai, maka segera dapat menentukan intervensi apa yang paling sesuai dengan anak, termasuk norma-norma yang berlaku di masyarkat.

Baca: Psikolog: Orangtua Tidak Pernah Diperbolehkan Memukul Selama Mengasuh Anak!

4. Memberi Contoh

Cara agar anak mau bersikap atau melakukan apa yang diminta/diajarkan orangtua adalah dengan cara modelling dan penerapan reward. Contoh, ibu selalu menjadi role model anak perempuannya. Berpakaian rapi, wangi, bersih, melibatkan anak di setiap kegiatan ibu seperti berbelanja, memasak, dan merapikan kamar.

Jadi ibu tidak hanya memberikan perintah, melainkan ikut serta dalam kegiatan. Namun apabila anak sudah mulai terbiasa dan mulai tumbuh kesadaran dirinya maka ibu sudah tidak perlu terlibat lagi.

5. Beri Pujian

Selama proses pembentukan ini hendaklah memberikan reward seperti pujian. Saat anak mengenakan dress ibu dan ayah mengatakan "Cantiknya putri ayah!", "Wah, enak sekali masakan kakak…"  

Tak kalah penting, hindarilah pemberian komentar negatif apalagi saat anak pertama kali mulai mengubah penampilannya, dari penampilan tomboi ke penampilan feminin.

Baca: Si Buyung, kok, Kemayu?

Poin penting lainnya, orangtua wajib ingat,t anak bukanlah orang dewasa mini. Setiap saat anak berkembang. Mereka memiliki tahapan-tahapan yang harus mereka lalui baik secara fisik, kognitif, maupun psikososial.

Peran orangtua adalah mempersiapkan anak-anak kita tumbuh dan berkembang secara optimal. Pastinya dalam melewati setiap tahap perkembangan melalui banyak kendala. Dari kendala inilah anak belajar untuk berproses.

Hilman Hilmansyah/Kontributor NOVA