Mengikuti Datsun Raisers Expedtion (Dre) 2 Di Malang (3)

By nova.id, Kamis, 1 Desember 2016 | 03:15 WIB
. (nova.id)

Hari terakhir di acara Datsun Raisers Expedition (DRE) 2 di Malang berlangsung sangat menarik sangat meriah.  Selepas dari kota Malang para raisers langsung menuju padepokan topeng Malangan Asmoro Bangun yang ada di Pakisasji.  

Begtu turun dari mobil di pendopo raisers disambut tarian selamat datang yang dimainkan sangat apik oleh dua remaja Angga dan Rizky. Topeng malangan merupakan seni khas yang sudah ada sejak tahun 1890 kemudian mulai berkembang pada masyarakat umum  pada tahun 1930-an.  “Topeng malangan dulu adalah seni yang hanya dimainkan para kaum bangsawan saja. Tapi sejak 1930-an bergeser mulai dimainkan oleh masyarakat umum,” kata Handoyo, salah seorang seniman topeng malangan ketika menerima rombongan.

 Yang menarik selain diceritakan tentang sejarah topeng rombongan diajari secara langsung cara membuat topeng lengkap dengan cat air sebagai pewarnanya.  Dan topeng mini hasil karya masing-masing peserta boleh dibawa pulang sebagai kenang-kenangan.

DESA TERTINGGI DI PULAU JAWA

Selesai dari padepopak raisers bergser lokasi menuju lokasi wisata budaya Gunung Kawi.  Tidak beda jauh ketika di Pakisasji, begitu mendektai  pintu masuk makam Kanjeng Zakaria dan  R. Mas Imam Soedjono yang kesohor itu rombongan disambut dengan tari reog sebagai penghormatan.  

Di pesarean Solikin penjaga makam menjelaskan bahwa kedua orang yang makamnya dikeramatkan tersebut adalah seorang penyebar agama Islam keturunan dari kesultanan Yogjakarta. Namun dalam perjalanan waktu makam kedua tokoh yang meninggal tahun 1871 dan 1976 itu menjadi jujugan masyarakat terutama di hari-harti tertentu.  “Di malam jumat legi disini penuh peziarah,” kata penjaga disana.

Sekitar pukul 15.00 rombongan raisers meninggalkan Gunung Kawi menuju Desa Ngadas, Kec. Poncokusumo.  Namaun saat itu cuaca kurang bersahabat sepanjang  puluhan kilometer hujan lebat mengguyur selama perjalanan.

Yang menarik Desa Ngadas mendapat julukan sebagai negeri diatas awan karena   berada di ketinggian 2150 dpl, menjadikan desa yang ada di kawasan Gunung Tengger sebuah desa tertinggi di Pulau Jawa.  Tak heran hawanya sangat dingin bahwa di tempat dan bulan tertentu disana bisa mencapai  0 derajat celcius.

Karena  memiliki adat istiadat Tengger yang masih kuat begitu raiser datang, dibawah hujan rintik-rintik dank abut tebal langsung disambut dengan ritual upacara pembacaan mantra Sutomo sebagai pemimpin adat. “Upara ini dilakukan supaya semua diberi keselamatan,” kata Sutomo usai acara.  Sepanjang perjalanan raisers menuju ke balai desa setempat dihibur dengan berbagai tetabuhan sekaligus dengan kuda joget.

 Malam itu terasa istimewa sebab di balai desa juga diberi sajian seni ujung-ujungan yaitu sebuah seni saling cambuk rotan antar pemain yang biasa dilakukan ketika datang hari raya karo, hari raya masyarakat  adat Tengger.  “Dini  warganya 50 persen Budha, 40 persen Islam selebihnya Hindu. Tetapi meski  demikian semua warga memegang erat budaya Tengger yang tidak boleh ditinggalkan,” imbuh Tomo sesepuah desa.

MENATAP KAWAH BROMO

Pukul 03.00 dinihari rombongan ramai-ramai bergegas bangun kemudian dijemput mobil jeep khusus. Di kegelapan malam yang amat dingin itu kemudian menuju ke Penanjakan untuk melihat matahari terbit.  Meski pagi itu sinar matahari tak tampak karena tertututp awan tetapi semuannya tetap menikmati keindahan alam sekitarnya salah satunya kawah gunung Bromo yang ada di depan mata.  Disana moment istimewa itu tak dilupakan, dan seperti biasa saling selfi dengan latar belakang lautan pasir di lereng Bromo yang amat indah.