Kisah Dua Srikandi Indonesia Memburu Tujuh Puncak Tertinggi

By nova.id, Rabu, 21 Desember 2016 | 03:03 WIB
Fransiska Dimitri Inkiriwang (23) dan Mathilda Dwi Lestari (23) (nova.id)

Paduan celana jeans berwarna gelap dan kemeja coklat membuat Fransiska Dimitri Inkiriwang (23) dan Mathilda Dwi Lestari (23) tampak sebagai wanita gagah.

Itu kian terpancar saat keduanya mengumumkan akan melanjutkan misi pendakian tujuh puncak tertinggi di tujuh benua atau Seven Summits. Meski bertubuh mungil, dua mahasiswi jurusan Hubungan Internasional itu punya nyali besar.

Buktinya, empat gunung tertinggi di empat benua, yakni Gunung Carstensz Pyramid, Papua (4.884 mdpl), Gunung Elbrus, Rusia (5.642 mdpl), Gunung Kilimanjaro, Tanzania (5.895 mdpl), serta Gunung Aconcagua, Argentina (6.962 mdpl) telah mereka taklukkan dalam kurun dua tahun terakhir.

Kini, keduanya akan kembali melanjutkan misi bertajuk The Women of Indonesia's Seven Summits Expedition Mahitala Unpar (Wissemu) menuju Gunung Vinson Massif di benua Antartika. Gunung Vinson Massif memiliki ketinggian 4.892 mdpl. Gunung itu berada di benua paling terisolasi sekaligus paling bersih di dunia.

"Saya ingin membawa bendera Indonesia di Antartika dan menginspirasi kaum wanita bahwa wanita bisa melakukan hal besar," kata Dimitri dengan raut wajah penuh keyakinan di Gedung Rektorat Unpar, Jalan Ciumbuleuit, Bandung, Senin (19/12/2016).

Beban yang mereka pikul kali ini akan lebih berat dari pendakian sebelumnya. Dian Indah Carolina (21), pendaki yang sebelumnya terlibat dalam empat pendakian terakhir bersama mereka, tidak bisa melanjutkan misi lantaran mengalami gangguan kesehatan.

Ia memprediksi, beban logistik yang harus diangkat mencapai 30 kilogram per orang tanpa bantuan porter. Selain itu, tiap pendaki juga harus membawa beban logistik tambahan yang ditarik menggunakan sled.

"Beban logistik kita bagi dua. Sebelumnya kan Carolina yang bertugas sebagai dokumenter utama. Sekarang dipegang Mathilda. Pasti berpengaruh, tapi seiring berjalannya persiapan, sudah kami biasakan," ucap Dimitri.

Proses persiapan telah dilakukan selama delapan bulan. Waktu persiapan diisi dengan kegiatan latihan fisik. Salah satunya, dengan belajar olah napas ala Wim Hof untuk melawan suhu dingin. Dimitri dan Mathilda juga berlatih dengan merendamkan tubuh di kolam penuh es sebagai bagian dari aklimatisasi.

"Karena umumnya tiap gunung punya karakter berbeda, ada persiapan spesifik. Tantangan besar adalah cuaca ekstrem. Bahkan lebih dingin dari Arktik," kata Dimitri.

Baca juga: Lima Kali Mendaki Cartenz, Pria Ini Meninggal Saat Badai Salju

Mathilda mengatakan, dalam kondisi dingin, pendaki mesti menjaga suhu tubuh dengan memperbanyak minum air putih.