Jangan Minder, Pemilik Pinggul Besar Justru Lebih Sehat daripada Si Perut Buncit

By Dionysia Mayang, Sabtu, 9 September 2017 | 08:35 WIB
Jangan Minder, Pemilik Pinggul Besar Justru Lebih Sehat daripada Si Perut Buncit (Dionysia Mayang)

NOVA.id – Tak percaya diri karena memiliki tubuh bagian bawah terutama pinggul dan paha yang besar padahal tubuh bagian atas ramping?

Ternyata, pemilik tubuh bentuk buah pir seperti yang dimiliki Beyonce atau Jennifer Lopez sangatlah beruntung.

Sebuah penelitian dari University of Tübingen, Jerman, menemukan bahwa orang dengan berat badan ideal, tetapi dengan kelebihan lemak di tubuh bagian bawah, dapat menurunkan risiko terkena serangan jantung, stroke, dan diabetes.

Disebutkan dalam hasil penelitian tersebut, satu dari lima orang dengan berat badan normal, tapi tidak sehat secara metabolik, memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit tersebut daripada mereka yang kelebihan berat badan.

(Baca juga : Ternyata Kesalahan Sederhana Ini yang Bikin Kopi Kita Tak Nikmat, Segera Hindari Ya!)

Namun perempuan yang memiliki bentuk tubuh buah pir tidak termasuk ke dalam kelompok-kelompok tersebut, karena pinggul, bokong, dan paha ternyata merupakan tempat aman untuk menyimpan lemak di tubuh.

Penelitian ini menunjukkan bahwa lemak mungkin tidak akan "menetap" seumur hidup di pinggul, melainkan hanya beberapa bulan.

Artinya, lemak di pinggul atau paha lebih baik daripada lemak di bagian perut.

Hal ini dikarenakan lemak di pinggul tidak akan terangkut ke jantung dan hati, yang bisa menyebabkan tekanan darah tinggi, gula darah tinggi, dan risiko penyakit lebih besar di kemudian hari.

(Baca juga : Jangan Tertipu dengan Gejala yang Mirip Gangguan Pencernaan Ini, Bisa Jadi Ini Gejala Terserang Kanker Ovarium!)

“Lebih baik bagi orang-orang dengan berat badan normal memiliki bentuk tubuh berbentuk buah pir daripada berbentuk apel, sehingga berat badan ‘"terfokus" di bagian bawah tubuh mereka, bukan bagian tengah atau perut. Pinggul dan paha menawarkan penyimpanan yang aman untuk lemak, menghentikannya masuk ke dalam darah dan mencapai organ tubuh,” jelas Dr. Norbert Stefan, penulis utama penelitian dari Universitas Tübingen.

Penelitian dilakukan terhadap 981 orang dengan risiko tinggi diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskular.