NOVA.id - Di zaman yang serba instan dan cepat ini, kita harus waspada dan berhati-hati dalam mengonsumsi makanan.
Niatnya ingin mengonsumsi makanan sehat dan bergizi, kita justru terkena penyakit atau mungkin bakteri karena salah dalam memilih makanan.
Oleh karena itu, kita harus pandai dalam menentukan makanan seperti apa yang perlu kita konsumsi.
Seperti yang terjadi di Nagori (Desa) Dolok, Kecamatan Silau Kahean, Kabupaten Simalungun, tim dari Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara (FK UISU), Medan, menemukan kasus endemik penyakit cacing pita ( taeniasis).
Baca juga: Bikin Merinding! Begini Bisikkan Elvy Sukaesih Saat Menjenguk Dhawiya di Rutan
Dilansir dari Kompas.com, dari kasus itu ditemukan cacing pita sepanjang 10,5 meter. Dokter Umar Zein selaku Ketua Tim Peneliti Cacing Pita FK UISU, Senin (26/3), menyebutkan, penemuan itu bermula pada Oktober 2017 saat ada pasien berobat ke kliniknya.
Pasien itu mengaku saat dia membuang kotoran mengeluarkan potongan-potongan cacing.
Berangkat dari pengakuan itu, Umar Zein mengajak tim dari FK UISU menuju ke lokasi asal pasien tersebut di Nagori Dolok, Kecamatan Silau Kahean, Kabupaten Simalungun, pada 21 Oktober 2017.
Setelah melakukan penelitian beberapa hari, tim memberikan obat untuk dikonsumsi warga.
Baca juga: Spesial! 4 Kontestan Indonesian Idol Akan Berduet dengan Keempat Juri Malam Ini
Lalu, pada 2 November 2017, ditemukan kasus saat seorang warga membuang kotoran, dia mengeluarkan cacing pita sepanjang 10,5 meter.
"Bisa jadi ini merupakan cacing pita terpanjang di dunia," ujar Umar.
Lebih jauh, tim FK UISU menemukan sebanyak 171 kasus serupa, dengan cacing pita yang panjangnya beragam, mulai dari 2 meter hingga 8, 6 meter.
"Total yang kami temukan 171 kasus. Ada juga warga yang membuang kotoran yang kemungkinan juga ada cacing pita," terang Umar.
Baca juga:
Dia memperkirakan mayoritas warga di 6 desa di Kecamatan Silau Kahean juga terkena pengakit cacing pita.
Penyebab penyakit ini, menurut Umar, yaitu konsumsi daging babi yang tidak dimasak atau kurang sempurna masakannya.
"Di sini kan ada makanan khas Simalungun, yakni Hinasumba atau Holat yang bahan makanannya dari daging babi yang memang tidak dimasak," terang Umar.
Atas temuan ini, pihak FK UISU melakukan kerja sama dengan tiga universitas asal Jepang dan empat universitas di Indonesia untuk melakukan penelitian.
Baca juga: Sedang Hamil, Kahiyang Ayu Justru Tampil Berbeda di Foto Ini
Ketiga universitas dari Jepang tersebut yaitu Department of Parasitology, Asahikawa Medical University; Laboratory of Veterinary Parasitology, Joint Faculty of Veterinary Medicine Yamaguchi University; dan Center of Human Evolution Modelling Research, Primata Research Institute, Kyoto University.
Sedangkan dari Indonesia, yakni Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali; Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang; Direktorat Pascasarjana Universitas Sari Mutiara Medan; dan Departemen Farmakologi FK Universitas Methodist Indonesia Medan.
"Tim telah selesai melakukan pemeriksaan molekuler terhadap empat sampel cacing pita asal Kabupaten Simalungun, termasuk draf artikel ilmiah," kata Umar.
Selanjutnya, artikel tersebut dikirim ke WHO guna melanjutkan penelitian atas penemuan endemi taeniasis di Kabupaten Simalungun.
Sembari menunggu dukungan dari WHO, tim FK UISU akan kembali turun ke lokasi yang sama, di mana pertama kali ditemukan cacing pita di Kecamatan Silau Kahaean.(*) Tigor Munthe / Kompas.com