Wah, Ternyata si ‘Perfect’ Malah Gampang Stres! Ini Alasannya

By Dionysia Mayang Rintani, Senin, 16 April 2018 | 03:30 WIB
Ini dia tanda Anda sangat stres. Sebelum meledak, mari rencanakan berlibur sekarang juga. (Dionysia Mayang)

NOVA.id – Bagi kita yang perfeksionis, biasanya akan keras pada diri sendiri ketika terjadi hal-hal yang tak berjalan sesuai keinginan.

Sifat ini memang diperlukan pada beberapa hal, tapi jika standar kita terlalu tinggi lama kelamaan kita justru jadi depresi.

Menurut Jackie Chan, seorang psikolog dari The Hong Kong Psychological Counselling Centre, perfeksionisme adalah sikap atau keyakinan bahwa tidak boleh ada kekurangan dalam pekerjaan atau kemampuan seseorang.

(Baca juga: Mau Punya Kulit Wajah Bercahaya? Coba deh Konsumsi 6 Makanan Enak Ini)

Biasanya si perfeksionis menetapkan standar yang tinggi -kadang tidak realistis- bagi dirinya sendiri, dan menganggap diri gagal ketika tidak dapat memenuhi standar tersebut.

Seringkali pencarian kesempurnaan dimulai sejak usia muda , terutama ketika mereka memiliki orangtua atau figur otoritas lain seperti guru, yang menetapkan kesempurnaan sebagai standar yang diinginkan.

Kesalahan apa pun yang dibuat biasanya akan berbuah kritik, teriakan, bullying, atau bahkan hukuman fisik.

(Baca juga: Memang Segar, Tapi Terlalu Banyak Minum Air Tebu Bisa Bahaya loh, Berikut Efek Sampingnya)

Akibatnya mereka tumbuh dengan hasrat untuk menyenangkan dan menerima pujian dari orang lain.

Mereka juga percaya bahwa harga diri mereka terikat dengan prestasi mereka.

Media, masyarakat luas dan keyakinan budaya juga dapat berkontribusi pada keinginan untuk menjadi "sempurna".

(Baca juga: Selain Rasanya yang Segar, Ini loh Manfaat Buah Mangga untuk Ibu Hamil)

Perfeksionisme juga dicirikan oleh evaluasi diri yang terlalu kritis dan khawatir tentang penilaian dan kritik orang lain.

Meskipun tidak ada yang salah dengan mengejar standar yang tinggi, menjadi teliti, atau menginginkan semua hal berjalan dengan cara tertentu, namun sikap ini sebenarnya punya efek negatif.

Efek paling nyata dari sifat tersebut berupa tindakan menyakiti diri sendiri, sindrom kelelahan kronis, gangguan obsesif-kompulsif, insomnia, gangguan stres pasca-trauma, gangguan kecemasan sosial, kecemasan dan depresi.

(Baca juga: Ikan Sarden Kremes, Sajian Akhir Pekan yang Kriuknya Bikin Nagih!)

Riset terbaru dari Australian Catholic University juga menemukan bahwa sifat perfeksionis menyebabkan depresi.

Tentu kita tidak ingin kerja keras kita untuk mencapai level kesempurnaan menjadi bumerang bagi kesehatan mental.

Para ahli menyebutkan, sikap mencintai diri sendiri, atau praktik kebaikan diri, dapat melemahkan hubungan antara perfeksionisme dan depresi.

(Baca juga: Oh... Ternyata Begini Cara Atur Pola Makan yang Tepat untuk Buah Hati Kita)

Dr. Madeleine Ferrari, seorang psikolog, mengatakan bahwa orang-orang yang menyalahkan diri sendiri ketika mereka membuat kesalahan atau gagal mencapai standar tinggi dapat disebut "maladaptif perfeksionis".

Kondisi tersebut merupakan pemicu kelelahan dan depresi.

"Sikap belas kasih dan peduli pada diri dapat membuat orang perfeksionis terhindar dari depresi, baik pada remaja atau orang dewasa," kata Ferrari.

(Baca juga: Ini 6 Langkah Mudah Merawat Kulit Wajah Agar Tetap Cantik dan Sehat, Cobain yuk!)

Saat ini, banyak orang dewasa dan remaja berada di bawah tekanan besar untuk memenuhi standar yang sangat tinggi, baik dalam kehidupan pribadi mereka maupun di sekolah dan tempat kerja.

Ketika mereka menjadi terlalu fokus pada kesalahan, frustrasi dan marah pada diri sendiri saat gagal memenuhi harapan yang dibuat sendiri, risiko untuk mengalami depresi sangaltlah besar.

Berdasarkan laporan CNN tahun 2017, World Health Organization (WHO) umumkan jika depresi menjadi penyebab utama masalah kesehatan dan ketidakmampuan di seluruh dunia.

(Baca juga: Sebelum Berenang, Pastikan Kita Tahu 5 Hal Penting Ini)

Angka penderita depresi ini telah naik lebih dari 18 persen sejak 2005.

Depresi mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir dan berperilaku.

Gejalanya antara lain seperti kehilangan minat dalam hobi, perasaan tidak berharga, konsentrasi yang buruk, ketidakmampuan untuk membuat keputusan, hingga gairah seks rendah.(*)