NOVA.id - Ditinggal orang yang dikasihi secara tiba-tiba pastinya membawa kesedihan tersendiri untuk keluarga.
Hal ini pula yang dirasakan oleh istri dan anak almarhum Herman Seventeen.
Kenangan akan sosok kepala keluarga dan suami dari Juliana Moechtar ini masih sangat membekas dalam hati dan pikiran sang istri.
Baca Juga : Seorang Dokter, Perempuan ini akan Menjadi Istri Putra Mahkota Pakualaman
Bahkan setelah beberapa hari kepergiaannya pun Juliana merasa tak sanggup untuk mendengar lagu ciptaan dari Herman.
Memiliki anak-anak yang masih kecil, membuat Juliana tak bisa dengan mudah menjelaskan mengenai kematian sang ayah.
Dikutip dari tayangan The OK! Show RCTI, Juliana menceritakan mengenai sang anak yang didatangi oleh Herman dalam mimpi.
Baca Juga : Mbah Mijan Terawang Gisel akan Makin Nakal Usai Bercerai dari Gading Marten! Kenapa?
Sebelum kepergiannya untuk selamanya, Herman pernah menjanjikan sang anak untuk memberinya sebuah sepatu.
Juliana sempat melarangnya, karena hari sudah terlalu malam, sebelum peristiwa tsunami itu terjadi.
"Uza beli sepatu," kata Herman.
"Iya Papah," sahut Hafuza, anak pertama mereka.
"Udah nggak usah, nanti aja" kata Juliana.
Akhirnya dia tidak jadi membelikan sang anak sepatu hingga hari kepergiannya.
Baca Juga : Dari Tsunami Raksasa Hingga Artis Ketahuan Gay, Ini Ramalan 2019 dari Mbak You dan Baba Vanga
Lalu Fuza mengaku bermimpi bertemu dengan sang ayah.
"Mama, papa dateng duduk di tempat mama tidur, bangunin Uza di dada, Uza, papa bawa sepatu buat Uza terus Uza bilang, makasih papa dia cium Uza di pipi Ma, terus Uza cium papa di kepala papa," kisah Juliana.
"Terus papa pergi, sepatunya bagus ga? sepatunya bagus warna biru," lanjutnya.
Baca Juga : 5 Fakta B.P.H Kusumo Bimantoro, Putra Mahkota Pakualaman Yogyakarta yang akan Segera Naik Pelaminan!
Setelah kepergian Herman, diketahui anak pertamanya Hafuza kerap mengunjungi makam sang ayah yang ada di belakang rumahnya pada saat subuh. (*)
Source | : | YouTube,Instagram |
Penulis | : | Hinggar |
Editor | : | Dionysia Mayang Rintani |
KOMENTAR