NOVA.id – 22 Mei besok, tengah menjadi momentum mendebarkan bagi kita semua, karena banyak berita negatif tersiar baik fakta maupun hoax.
Sayangnya, kericuhan semakin menjadi-jadi ketika banyak berita hoax tersebar di media sosial.
Sudah berita hoax tersebar, kita juga sering “kemakan” dengan berita-berita seperti itu, yang jadinya memperkeruh keadaan di Indonesia.
Namun, ini merupakan cerita lama yang tidak pernah berubah, tentunya ini dikarenakan efek dari kurangnya kemauan kita dalam memahami literasi digital.
Sebuah survei menjadi cermin kenapa WEF (World Economic Forum) tahun 2016 yang membeberkan Indonesia menduduki posisi 73 dari 139 negara rendah literasi.
Sudah begitu—persis seperti kisah ibu dosen tadi—kecakapan literasi bukan karena jenjang pendidikan atau status sosial.
Baca Juga: Ramadan Menawan: Yuk Berburu Diskon Skincare Anti Aging di Benscrub!
Seorang yang kredibel saja masih banyak yang belum cakap. Ini didukung dari penelitian OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development).
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi itu, tahun 2016 menjelaskan bahwa sebanyak 70 persen penduduk Jakarta tidak paham apa yang mereka baca.
Padahal, ibukota yang menjadi sentra ekonomi Indonesia, tentu diisi oleh mereka yang rata-rata berbekal pendidikan formal cukup baik.
Baca Juga: Sebulan Sebelum Bertemu Pangeran Harry, Meghan Markle Pernah Kencan Online dengan Pria Ini
“Membaca bukan berarti bisa memahami. Itulah yang memang terjadi sekarang. Kepiawaian kita akan literasi sering dijadikan bahan untuk menimbulkan konflik, perdebatan, keresahan hingga kecemasan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.”
“Sudah kurang cakap, teknologi internet terus berkembang pesat, wajar saja jika kita masih dianggap belum siap untuk cerdas,” ungkap Dr. Dedi Permadi, Direktur Centre for Digital Society dari Universitas Gajah Mada itu.
Menurut Dr. Dedi Permadi, hampir 90 persen orang Indonesia memakai internet secara aktif, tapi pemakaiannya tidak dimanfaatkan dengan bijak dan baik.
Tidak lagi heran, jika pelaku penyebaran berita hoax memanfaatkan kecanggihan internet untuk memanipulasi informasi.
“Ada beberapa orang ketika menerima informasi di Whatsapp, langsung menyebarkannya di grup. Enggak kroscek dahulu sumber beritanya, atau tanya ke orang kompeten mengenai berita tersebut. Bagi mereka, menyebarkan informasi seolah menjadi kepuasan batin,” geramnya.
Dari sinilah, gabungan perkembangan internet dan minimnya literasi masyarakat menyebabkan dobel masalah.
Baca Juga: Contek yuk! Begini 4 Ide Mendekorasi Ruang Tamu Mungil untuk Sambut Lebaran
Berita hoax yang tadinya hanya tulisan, sekarang berkembang.
”Ada gambar, video, rekaman bahkan analisa data palsu mudah ditemukan di internet. Kepalsuan berita bisa membuat masyarakat mudah menghujat, membenci, menghina, yang diungkapkan melalui medsos mereka.”
Selanjutnya, aktivitas negatif dari penyebaran hoax akhirnya membuat masyarakat menjadi resah.
Bagaimana dengan Sahabat NOVA?(*)
Penulis | : | Tentry Yudvi Dian Utami |
Editor | : | Winggi |
KOMENTAR