NOVA.id - Hadirnya pandemi yang datang tiba-tiba, menghadirkan risiko. Pertama, risiko terganggunya kesehatan. Seperti diketahui, saat ini penyebaran virus corona yang menjadi penyebab Covid-19 masih tinggi.
Laman covid19.go.id mencatat pada Kamis, (22/10/2020) terdapat kenaikan kasus positif harian sebesar 4.432 kasus. Total kasus positif terinfeksi per hari itu mencapai 378.000.
Meski jumlah pasien yang sembuh mencapai 301.000 orang, kekhawatiran tetap ada.
Kedua, risiko keuangan. Pandemi juga memberi dampak pada sektor ekonomi. Kementerian Keuangan RI mencatat, pada kuartal II perekonomian Indonesia mengalami kontraksi hingga pertumbuhannya berada pada minus 5,32 persen.
Baca Juga: Sule dan Nathalie Holscher Dikabarkan Segera Menikah, Pihak KUA Akhirnya Bocorkan Tanggal Resminya
Mengutip dari Kompas.com (7/10/2020), pada kuartal III risiko Indonesia mengalami resesi pun semakin bertambah. Pasalnya, pelemahan ekonomi yang berdampak multisektoral, seperti menurunnya daya beli masyarakat hingga menurunnya kepercayaan investor semakin terasa.
Berdasarkan survei yang dihimpun oleh World Health Organization (WHO) pada Juni-Agustus 2020 di 130 negara sebanyak, 70 persen orang dewasa mengalami gangguan kecemasan selama pandemi. Hal ini karena bermacam-macam penyebab, salah satunya yaitu permasalahan keuangan.
Penurunan atau hilangnya pendapatan dialami oleh sebagian besar orang. Beberapa masih harap-harap cemas soal sumber pendapatan yang semakin lesu. Sebab, kebutuhan hidup tetap harus dipenuhi.
Selain kebutuhan dasar, ada juga kebutuhan listrik dan koneksi internet untuk menunjang anak sekolah daring, hingga kebutuhan perlengkapan kesehatan serta sanitasi. Bagaimana juga ketika salah satu anggota keluarga sakit di tengah pandemi? Selain risiko paparan virus tinggi di rumah sakit, biaya kesehatan juga jadi bahan pemikiran.
Baca Juga: Bukan Brondong, Aditya Gumelar Bongkar Identitas Pacar Baru Elly Sugigi
Survei Honestdoc pada 2019 menyebut 61 persen pembiayaan kesehatan personal lebih banyak dikeluarkan lewat dompet sendiri. Sedangkan sisanya dilakukan oleh asuransi swasta dan pemerintah.
Survei ini pun menunjukan bahwa dari total 8.314 responden yang disurvei, hampir
81 persen responden mengakui tidak memiliki asuransi. Bahkan, kepemilikan asuransi pun tidak dianggap sebagai sesuatu yang perlu untuk dimiliki.
Penulis | : | Content Marketing |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR