Marcelina mengatakan, silent treatment bukanlah bentuk komunikasi yang baik dan harus dihindari.
"Karena itu tuh kayak ngambek tapi ngambeknya itu kayak anak kecil yang lagi tantrum, cuman bedanya kita dengan diam. Itu sebenarnya kita menuntut sesuatu agar keinginan kita bisa dikabulkan," ucapnya.
Alih-alih mendiamkan pasangan, kata Marcelina, lebih baik kita saling berdiskusi, mencari jalan keluar, bicara dengan kepala dingin agar konflik bisa diselesaikan dengan baik.
"Padahal, bentuk resolusi yang baik adalah ketika ada kesepakatan bersama, antar kita dengan pasangan, misalnya," tambahnya.
Jika silent treatment terus menerus dilakukan, hubungan akan menjadi tidak sehat karena tidak lagi setara.
"Jadinya, pasangan dalam tanda kutip terpaksa memenuhi keinginan kita, padahal dia belum tentu inginnya begitu, bisa aja beda. Akhirnya hubungannya jadi timpang dan muncul ketidakpuasan dalam relasi, komunikasi juga jelek," jelasnya.
Agar silent treatment tidak terjadi, kita dan pasangan harus sama-sama bisa pintar atur emosi.
Marcelina menyarankan, jika kita bertindak sebagai pelaku, kita perlu memposisikan diri sebagai orang yang dikenakan silent treatment.
"Coba posisikan diri sebagai pasangan, gimana kalau kita diperlakukan kayak gitu nggak enak kan didiemein? Diajak ngobrol nggak direspons, ngajakin sesuatu ditolak," kata Marcelina.
Setelah memposisikan diri, cobalah ambil waktu untuk menenangkan diri.
"Bergeser ke being silent, minta waktu untuk sendiri untuk menenangkan emosi," lanjutnya.
Setelah cukup menenangkan diri, jangan lupa untuk menyelesaikan konflik dengan pasangan. Jangan dibiarkan atau diabaikan begitu saja.
Source | : | Nova |
Penulis | : | Dok Grid |
Editor | : | optimization |
KOMENTAR