Dalam Pasal 4 PKPU itu, disebutkan bahwa partai politik tidak boleh menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi sebagai bakal calon legeslatif.
Namun, setelah ada peraturan itu, tercatat ada 13 pengajuan uji materi yang diterima Mahkamah Agung (MA) untuk mengugurkan regulasi tersebut.
Gugatan-gugatan itu di antaranya diajukan oleh para mantan koruptor yang ingin menjadi anggota DPR.
Akhirnya, larangan mantan koruptor menjadi calon legislatif kemudian dibatalkan oleh MA menjelang Pemilu 2019.
Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg bertentangan dengan UU Pemilu.
Dengan adanya putusan uji materi tersebut, mantan narapidana kasus korupsi dapat mencalonkan diri sebagai caleg dengan syarat-syarat yang ditentukan UU Pemilu.
"Itu bertentangan dengan UU Pemilu. UU Pemilu kan membolehkan dengan persyaratan-persyaratan tertentu," kata Juru Bicara MA Suhadi saat itu saat dihubungi Kompas.com, Jumat (14/9/2018).
"Tapi kalau PKPU kan menutup sama sekali kan. Bertentangan atau enggak itu? Ya kalau menurut MA ya bertentangan," ujar dia.
Syarat jadi caleg
Komisioner KPU, Idham Holik membenarkan adanya syarat bagi narapidana termasuk yang terlibat kasus korupsi jika ingin maju sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu yang akan datang.
Aturan tersebut telah dimuat dalam Pasal 45A Ayat 2 PKPU Nomor 31 Tahun 2018 yang mensyaratkan adanya lampiran berupa, telah memberikan keterangan mengenai status narapidananya kepada publik dari calon yang akan maju tersebut.
Baca Juga: Belajar dari Eropa, Menkominfo Usulkan Pemilu Digital dengan E-Voting
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Presi |
Editor | : | Presi |
KOMENTAR