Menurut sebuah penelitian di beberapa kota besar di Indonesia, angka perceraian di Indonesia mencapai 10 persen dan tak menutup kemungkinan jumlahnya akan terus meningkat. Pasalnya menurut penelitian tersebut, hanya 10 persen pasangan suami istri yang merasa bahagia dalam pernikahannya.
Sebanyak 80 persen pasangan bak "api dalam sekam". Artinya, seakan-akan terlihat tidak ada masalah yang sedang dihadapi, padahal tersimpan konflik yang tak kunjung tuntas.
Dra. Irna Minauli, M.Si., Direktur Minauli Consulting, mengemukakan bahwa apa pun pemicunya, keretakan rumah tangga lebih disebabkan karena ketidakmampuan pasangan dalam mengatasi konflik yang terjadi. Kemudian banyak pasangan menganggap perceraian bisa menjadi jalan keluar dari permasalahan. Ini yang menjadi penyebab angka perceraian di Indonesia mencapai 10 persen dari total perkawinan. "Padahal, perceraian justru bisa membawa banyak masalah baru. Mereka harus menyesuaikan terhadap masalah keuangan, seksual, sosial dan masalah praktis sehari-hari."
Belum lagi, ternyata risiko perceraian jauh lebih besar terjadi pada perkawinan kedua dan seterusnya. Di Amerika, misalnya, data perceraian mencapai 50 persen. Tapi ternyata pada pernikahan berikutnya setelah perceraian, angka itu meningkat menjadi 75 persen.
"Oleh karena itu, pikirkan berulang-ulang sebelum bercerai. Bahkan kalau perlu sampai ratusan kali. Jangan terlalu mudah untuk mengatakan cerai atau menggugat cerai, terutama bagi para istri karena seringkali kemudian menyesali keputusannya. Perceraian ternyata membawa dampak yang jauh lebih buruk terhadap dirinya dan anak," terang Irna.
Sebenarnya, lanjut Irna, setiap konflik yang terjadi dengan berbagai muara persoalan, bila tak sampai mengancam keselamatan salah satu pihak masih bisa "ditolerir" selama masih ada niat untuk memperbaikinya.
"Pernikahan terlalu berharga untuk dihancurkan hanya karena masalah-masalah yang masih bisa diperbaiki. Kecuali misalnya, kasus KDRT yang sudah mengancam keselamatan jiwa seseorang, termasuk anak. Anak yang terpapar kasus KDRT akan menerima efek buruk jangka panjang," tambahnya.
Bila angka perceraian di Indonesia mencapai 10 persen, lantas bagaimana dengan perselingkuhan? "Jika masih bisa diselamatkan, ada baiknya pasangan mempertimbangkan untuk dapat memaafkan, meski tentu saja tidak mudah. Tidak mustahil suami atau istri yang bersedia memaafkan dapat kembali meraih kehidupan perkawinan bahagia. Semua memang tergantung niat untuk memperbaikinya."
Hilman Hilmansyah
KOMENTAR