Ibu Rieny Yth.,
Sepuluh tahun saya menikah dengan B, tapi belum pernah saya merasakan diberi uang belanja dari gajinya yang hanya tersisa Rp 15 ribu setiap bulan. Uang itu dipakai melunasi cicilan rumah yang kini ditempati mantan istrinya. Ini adalah pernikahan kedua saya dan B. Saya istri dari A. Kami punya satu anak laki-laki berumur 5 tahun ketika saya diajak adik Ibu ke daerah asal suaminya di Riau untuk kondangan. Di halte bus, kami jumpa B bersama ibunya. Ngobrol kiri-kanan, ibunya bilang saya ini jodohnya B. Cocok sekali, katanya. B langsung menggandeng saya, dan seperti kerbau dicocok hidung, saya diam saja, begitupun Bibi.
Mereka ikut ke rumah, dan hadir di perkawinan itu. Saya yang kesengsem, iya saja saat B akhirnya ikut ke Jakarta, untuk melamar saya! Ibu saya marah saat B melamar saya. Suami saya (A) pun dipanggil dan dasar A sangat soleh dan baik budi, dia rela melepas saya dengan syarat, B benar akan mengawini saya, sekaligus untuk menghindarkan saya dari aib. Dia bilang, bila tidak cocok, kembalikan saja saya pada dia. Hanya sehari prosesnya, saya sudah jadi istri B secara Islam, dan enteng saja meninggalkan suami dan anak, ikut ke Riau. Benar-benar seperti orang kena sihir. Selama menunggu proses cerai B, saya dititip ke mertua. Perceraian mereka mulus saja. Saya pikir-pikir, jangan-jangan mantan istrinya malah lega bercerai dari B.
Ibu dan keluarga besarnya, sih, sebetulnya baik, bahkan sampai sekarang. Orang tua saya? Ibu sakit sebulan dan ayah meninggal karena serangan jantung 3 bulan setelah saya kabur. Keduanya dirawat oleh mantan suami yang sampai kini belum menikah dan hidup tenang dengan anak tunggal saya.
B cuma 3 bulan benar-benar baik pada saya, selebihnya ia adalah tipe laki-laki yang selalu merasa dirinya bujangan. Pulang malam, hari libur memancing dari pagi hingga pagi lagi. Hampir tak pernah ada interaksi, kecuali dia menginginkan tubuh saya. Mungkin Ibu heran, kenapa saya bertahan hidup seperti ini? Anak tiada, harta tiada, cinta kasih juga tidak. Saya benar-benar sudah tak punya nyali untuk kembali ke Jakarta, Bu. Malu rasanya. Apalagi, anak dan mantan suami berkali-kali bilang akan menerima saya kembali kapan pun saya datang, dalam kondisi seperti apa pun. Yang membuat saya bisa bertahan selama ini adalah ketika saya terus membohongi diri bahwa saya akan segera kumpul lagi dengan mereka.
Hidup saya selama ini ditunjang kiriman uang dari ibu saya. Saya tak berani bertanya darimana beliau dapat uang, tapi saya kira, ini adalah kiriman kakak-kakak saya untuk Ibu. Tanpa malu, B malah ikut makan dari uang subsidi saya. Sebenarnya,uang proyeknya juga lumayan, tetapi dia hanya sesekali saja memberi uang pada saya. Pakaian pun tidak dua bulan sekali saya dibelikannya.
Memalukan ya, Bu ?
Bukan sekali dua kali saya bilang tak ada rasa apa-apa lagi pada suami, tapi dengan enteng dia menjawab bahwa saya harus merasa beruntung karena dia masih mau pada saya. Katanya, sebagai perempuan, saya pun tak ada daya tarik. Beranjak tua, tidak sekolah tinggi, tak pandai pula cari uang, bahkan mandul katanya. Karena sering saya dengar kata-kata ini, saya jadi percaya bahwa memang tak ada yang bisa saya banggakan dari diri saya.
Akan tetapi, kalau saya lihat mantan suami yang tidak menikah lagi karena tetap merasa bahwa saya akan kembali padanya, mustinya ada ya Bu, sesuatu yang berharga di dalam diri saya? Menurut Ibu, apa benar ada orang sebaik mantan suami? Jangan-jangan dia katakan mau terima saya, tetapi saat saya datang dia malah berpaling. Saya membayangkan, saya bakal tak tahan bila harus menerima kenyataan A sebenarnya sudah tak cinta pada saya, apalagi bila anak laki-laki saya tak sayang pada saya. Aduh, bisa gila saya. Lalu, apa yang harus saya jalani di sisa hidup ini? Bertahan atau kembali ke Jakarta ? Bantu saya ya, Bu, agar bisa hidup lebih tenang. Saya benar-benar tak punya apa-apa. Terima kasih.
Nurul - Riau
KOMENTAR