TabloidNova.com - Bisnis baju batik untuk anak kian marak. Selain pasarnya masih terbuka lebar, motif dan modelnya pun lebih menarik daripada baju batik dewasa. Simak penuturan Harlina Dyah Wijayanti (39) dalam membesarkan bisnis baju batik anak, Batik Kenes.
Per Bulan Laku Sampai Seribu Baju
Sejak masih bekerja di sebuah hotel berbintang di Yogyakarta, senang berjualan. Setiap Rabu tiba, saat karyawan di kantornya wajib berseragam batik, ia membawa baju batik untuk ditawarkan pada teman-temannya. Kebetulan, selain senang berjualan, perempuan yang akrab disapa Nina ini juga menyukai dunia anak-anak. Tak heran, muncul keinginannya untuk membuat baju anak-anak yang bernuansa etnik khas Indonesia. Lantaran ia tinggal di Yogyakarta, praktis ia memilih batik.
"Saya ingin kain batik warna cerah, bukan warna sogan. Desainnya juga harus enak dipakai. Saya melihat peluang untuk batik anak masih sangat terbuka, sementara kompetitor untuk busana batik dewasa sudah banyak," ujar Nina yang pada bulan November 2010 memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan yang telah ditekuninya selama 10 tahun. Ia mulai menggarap Batik Kenes.
Nina memang sengaja mencari bisnis yang bidangnya ia sukai. Kebetulan, selain menyukai kain tradisional, lulusan Fakultas Hukum UGM ini memang senang mendesain. Maka, Nina mantap bermitra dengan temannya, Prastiwi Ariani (32) untuk menggarap Batik Kenes. Nina mengurus pemasaran, Tiwi mengawasi jalannya produksi. Awalnya, dengan mesin jahit bekas milik tante Nina, mereka membuat hanya 15 baju anak dan menawarkannya di bazar dalam rangka acara perpisahan di TK anaknya.
Ia senang karena orangtua murid di sekolah anaknya merespons dengan bagus. Semua baju yang dibawanya nyaris ludes. Beberapa kali, Nina membuat baju untuk uji coba yang ia tawarkan ke orangtua murid di sekolah anaknya. Akhirnya ia menemukan formula yang pas untuk baju batik anak yang disukai orangtua murid lainnya. Tak lupa, ibu dua anak ini membuat katalog dan brosur yang ia sebarkan pada mereka dan teman-temannya di pengajian dan bekas teman kerja di kantor lama.
Selain itu, Nina juga memberanikan diri untuk menyewa gerai di sebuah mal besar yang jadi tujuan keluarga di Yogya. "Sebagai brand baru, saya harus mencari cara agar Kenes dikenal banyak orang, meski biaya sewanya cukup mahal di mal tersebut. Penjualannya bagus, malah ada pula permintaan reseller," tutur Nina yang juga menawarkan Kenes lewat online, antara lain Facebook, Twitter dan situs Kenes, www.kenes.co.id.
Saat membuka gerai itulah, ia mengundang beberapa wartawan Yogya yang dulu dikenalnya semasa bekerja. Acara pembukaan gerainya dimuat di media lokal. Setelah dua tahun, ia pindah ke toko di Jalan Laksda Adi Sucipto.
Batik Kenes sendiri, menurutnya, menyasar anak usia 0-12 tahun. Nina yang mendesain Kenes banyak mendapatkan inspirasi dari majalah, internet, maupun ketika melihat kain batik. Sengaja ia memberikan ciri khas konsep perca atau patchwork dalam baju yang didesainnya.
Selain tabrak warna dan motif, Nina juga mewajibkan kain batik Kenes nyaman dipakai dan modelnya khas anak-anak. "Sisa kain untuk membuat baju dipotong-potong dan digunakan untuk membuat baju perca. Potongan ini disambung satu per satu. Nah, baju perca inilah yang lebih laris," jelas anak bungsu dari enam bersaudara ini. Tak hanya baju, Nina juga mulai membuat aksesori seperti bando, topi, bahkan boneka dari perca.
Pada 2012, Nina yang memulai usaha ini dengan modal Rp20 juta mulai rajin ikut berbagai pameran, antara lain Indonesia Fashion Week dan Inacraft. Sejak itu, pasar Batik Kenes makin terbuka. Selain mendapat beberapa agen dan reseller, Nina diminta untuk memasok Batik Kenes ke beberapa department store besar di Jakarta dan Bali, serta pembeli dari Jepang. Batik Kenes juga mendapat bantuan antara lain dari Disperindag dan menjadi binaan dari salah satu BUMN.
"Kalau pembelian dari luar Jawa biasanya oleh agen dan reseller. Kami juga pernah ikut pameran ke Bangkok, Brunei, dan Melbourne, Australia. Lalu, ada juga reseller di Bangkok, Sydney, dan Melbourne. Kalau sedang ada pameran, biasanya dalam satu bulan Kenes terjual 800-900 potong baju. Kalau ditambah aksesori, bisa sampai seribu buah. Sementara, pada bulan biasa sekitar 700-1.000 potong. Kalau sedang ada permintaan ekspor, bisa tambah 250 potong. Kalau untuk luar negeri, biasanya laris permintaan saat musim panas," tuturnya.
Harga bajunya sendiri mulai dari Rp115.000 - Rp260.000. Harga yang paling mahal merupakan baju muslim lengkap dengan jilbabnya. Ada pula baju yang bisa dipesan sesuai keinginan pembeli, kebanyakan untuk seragam keluarga, atau baju seragam sekolah TK di Yogya. Batik Kenes biasanya lebih laris saat musim liburan, yaitu libur sekolah, Lebaran, dan akhir tahun dengan penjualan bisa mencapai tiga kali lipat.
Setiap bulan Nina menyediakan 10-15 model baru. Saat ada momen perayaan tertentu, biasanya Nina mengeluarkan model baju sesuai momen tersebut. Misalnya, saat Lebaran, Imlek, atau hari Kartini. Nina memberi tips merawat baju batik. Menurutnya, selain jangan dicuci di mesin cuci, baju batik juga sebaiknya dijemur dengan cara diangin-anginkan, bukan di bawah terik matahari langsung.
Hasuna Daylailatu, Foto: Hasuna Daylailatu / NOVA
KOMENTAR