Lewat lagu Terimakasih Cinta, nama Afgansyah Reza melejit di blantika musik Indonesia. Meski sebelumnya tak pernah bercita-cita jadi penyanyi, pria kelahiran 27 Mei 1989 ini mengaku bahagia bisa menjadi the rising star. Ikuti kisah hidupnya mulai edisi ini.
Nama lengkapku Afgansyah Reza. Seperti remaja Indonesia pada umumnya, aku lahir di tengah keluarga yang sederhana. Rumah kedua orangtuaku biasa saja, begitu pula mobil mereka. "Yang penting bisa jalan," begitu kata Papaku, Loyd Yahya.
Papa memang tipe orang yang tak ngoyo dalam menjalani hidup. Itu pula yang dinasihatkannya padaku dan ketiga saudaraku. Yakni tidak hidup berlebihan. Dengan kata lain kami diminta prihatin dengan keadaan sekitar dan jadi anak yang rendah hati.
Memang, Papa termasuk orang yang unik. Sifatnya sangat sabar dan tak banyak omong. Kalau ada masalah dalam keluarga, Papa selalu menanggapi santai. "Sudahlah, semua pasti ada hikmahnya," begitu selalu komentarnya.
Papa orangnya sangat lempeng. Bertolak belakang dengan karakter Mamaku, Lola Purnama, yang menggebu-gebu dan over protective pada anak-anaknya. Satu contoh, Mama selalu blingsatan jika jam 10 malam aku belum juga nongol di rumah. Padahal, sebelumnya aku sudah pamit, mau nongkrong dengan teman-teman.
Kalau sudah begitu, yang ada Mama bakal nelponin aku sepanjang hari. Jujur ya, terkadang sikapnya itu bagiku terasa sangat mengganggu. Aku kan, bukan anak kecil lagi. Usiaku sudah 19 tahun, lho!
Tradisi Aneh
Meski Mama suka berlebihan, sesungguhnya aku amat bersyukur punya orangtua yang pendidikannya tinggi. Selain pola pikir liberal, mereka juga mengenalkan kehidupan yang demokratis pada kami. Dengan begitu kami bisa bebas melakukan apa yang kami inginkan, tentunya di jalur positif dan dalam pantauan mereka.
Tapi ada lho, satu ajaran mereka yang tak boleh kami bantah, yakni soal makanan. Papa selalu mengatur apa yang boleh dan tak boleh kami konsumsi. Aturan ini makin ketat saat Papa diketahui menderita kolesterol tinggi. Jika Papa dan Mama cerewet tentang hal satu ini, harap maklum. Mereka kan, dokter.
Papa adalah dokter ahli anestesi, sedang Mama adalah dokter Spesialis Anak di Rumah Sakit Internasional Bintaro. Jika saat kecil aku dan adik-adik harus hidup sederhana, kini tidak lagi. Berkat kesabaran serta ketekunan Papa dan Mama bekerja, kami bisa hidup dengan lebih layak.
Dengan kakak dan adik-adik, aku sangat dekat. Terutama dengan kakak yang usianya 4 tahun di atasku. Semua yang tak bisa kubicarakan dengan orangtua, teman, atau kedua adik, bisa kubicarakan dengannya. Kami sudah seperti sahabat.
Jarak usiaku dengan saudara-saudaraku memang lumayan jauh. Dengan adik perempuan yang di bawahku, selisih 2 tahun. Sementara dengan adik laki-laki yang bungsu, terpaut 15 tahun.
Ada satu tradisi unik yang selalu dilakukan keluargaku saat adik bungsuku belum lahir, yakni merayakan ulang tahun di hotel. Bukan seperti orang-orang lain, yang pakai pesta lengkap dengan tamu dan acara tiup lilinnya, lho. Melainkan hanya menginap 2 hari, menghabiskan waktu bersama-sama di dalam kamar hotel.
Jadilah dalam setahun kami bisa menginap di 5 hotel berbeda, di seputaran Jakarta. Awal Maret, saat Mama ulang tahun, kami nginap di Hotel A. Setelah itu, pertengahan Maret, di hari ulang tahun Papa, kami nginap di Hotel B. Dan di ulang tahunku, 27 Mei, kami nginap di Hotel C. Begitu seterusnya hingga semua dapat giliran.
Kalau dipikir-pikir, tradisi ini agak aneh. Bukankah lebih baik ngumpul di rumah saja, lebih praktis dan ekonomis. Lucunya, tiap aku tanya Mama atau Papa tentang ihwal tradisi ini, mereka pasti jawab, "Kan, dulu kalian yang minta seperti itu."
Saat ini, tradisi itu tak lagi kami lakukan. Meski merasa aneh, aku tak menyesalinya. Mungkin kebiasaan ini yang telah membuat kami lebih dekat satu sama lain. Belakangan ini, setelah perekonomian keluarga membaik, Papa dan Mama memilih membawa kami berlibur, ke Padang, Bali, atau Singapura.
Tidur di Kelas
Di sekolah, aku bukan termasuk anak yang menonjol. Meski begitu, untuk urusan nilai, aku bisa dibilang lumayan. Dari SD hingga SMP, aku selalu masuk 10 besar. Hanya saja, ketika SMA nilaiku mulai menurun. Saat itu aku sudah mulai sibuk dengan kegiatan menyanyi.
Walau enggak menonjol, ada beberapa kejadian yang bikin aku selalu diingat para guru dan teman-teman. Kejadiannya sama sekali tidak membanggakan. Ceritanya saat kelas 1 SMA aku punya guru kimia yang sudah tua sekali. Saking tuanya, kalau beliau mengajar, suaranya tak bakal terdengar hingga bangku belakang. Guru ini, kalau sudah marah, cerewetnya minta ampun.
Suatu hari, di tengah pelajaran, ia menyuruhku maju ke depan. Aku diminta menulis suatu rumus kimia. Karena tidak hafal, aku menulis rumus yang salah. Tak ayal ia mengomeliku sejadi-jadinya.
Selama ia mengomel, aku sih, diam saja. Tapi, ketika kulihat ia sudah cukup puas memarahiku, aku pun membalas ucapannya dengan kalimat singkat dan santai, "Udah?" Selanjutnya aku bertepuk tangan seakan memberinya applause.
Tentu saja kelakuanku ini terlihat seperti orang yang nantangin. Seketika itu juga suasana kelas berubah jadi tegang. Guruku pun marah besar dan mengusirku keluar kelas. Ia benar-benar merasa terhina dengan kelakuanku. Teman-temanku pun tak habis pikir. Mereka bilang, "Ya ampun, lu berani banget sih, begitu ke dia."
Ada lagi cerita lain. Kali ini antara aku dan guru mata pelajaran sosiologi. Suatu hari, guru sosiologiku jatuh sakit. Tapi, ia tetap memaksakan diri tetap masuk dan mengajar. Saat masuk ke kelas, ia kesal bukan kepalang melihatku yang tertidur di dalam kelas. Dengan penuh emosi ia membangunkanku sambil marah-marah.
Entah kenapa, tiba-tiba ia jatuh pingsan. Melihat kondisinya yang makin lemah, pihak sekolah akhirnya membawa guruku itu ke rumah sakit. Sejak itu, aku tak pernah lagi melihatnya di sekolah. Kata teman-teman, beliau tidak lagi mengajar di sekolah kami. Sampai sekarang aku masih bertanya-tanya, alasan ia berhenti mengajar. Jangan-jangan gara-gara kelakuanku, ya.
Gosip Drop Out
Kalau ingat masa-masa itu, aku rasanya malu sekali. Sebenarnya aku bukan tipe anak yang susah diatur. Aku juga enggak pernah kok, bolos sekolah, tawuran, dan yang lainnya. Hal jelek yang pernah kulakukan di sekolah hanyalah ketiduran atau ngobrol di kelas saat jam pelajaran berlangsung.
Yang bikin aku bangga, meski nilaiku biasa-biasa saja, aku bisa lulus SPMB program studi ekonomi di kampus idamanku, Universitas Indonesia. Ini adalah keberhasilanku terbesar sebelum aku jadi penyanyi.
Kenapa aku pilih jurusan ekonomi? Karena di dalamnya ada pelajaran mengenai bisnis. Cita-citaku kan, ingin punya bisnis sendiri nantinya. Namanya juga orang Padang. Hahaha. Sayangnya, setelah kupelajari, ternyata materi pelajaran di jurusan ekonomi terlalu luas. Sedang aku lebih tertarik dengan ilmu bisnis saja.
Karenanya, tahun ini aku beralih ke program studi Bisnis di Monash College University. Caranya dengan mentransfer nilai yang kuperoleh selama kuliah di UI. Banyak yang bertanya, mengapa aku harus pindah ke Monash, padahal di UI pun ada jurusan yang kuinginkan. Jawabnya tentu masalah kualitas. Menurutku, materi dan sistem pengajaran yang diberikan di kampusku sekarang lebih bagus.
Jadi, soal gosip yang mengatakan aku di drop out dari UI karena sering bolos kuliah, itu fitnah besar. Kalau tak percaya, coba saja cek langsung ke sana.
Ester Sondang
KOMENTAR