Saya (35) dan suami (48) menikah sejak 1995 dan punya 3 anak. Di awal pernikahan saya merasa bahagia, tapi setelah hamil anak ke-2 suami sering cemburu tanpa alasan. Saya pikir, karena ia terlampau cinta kepada saya.
Namun, suatu hari saya justru memergoki ia bersama wanita lain ke hotel. Saya cegat mereka, tapi malah marah-marah. Sampai di rumah, malah ia yang ingin bercerai dengan saya. Aneh, kan, Bu? Seolah saya yang selingkuh.
Hati ini sakit Bu, karena selama ini ia sering marah dan cemburu tak karuan. Sejak itu saya benci, marah, dan jijik kepadanya, sehingga tak ingin melayaninya.
Ia pun menambahnya dengan melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), bahkan hanya untuk hal-hal sepele. Saya sering dimaki. Bila saya balas memaki, ia menampar saya berkali-kali, bahkan meninju saya.
Lebih dari seminggu lebam di tubuh dan wajah saya baru bisa hilang, tapi sakit hatinya sampai kini tak bisa hilang. Suatu malam, ia pernah pulang dalam keadaan mabuk, lalu merabai saya.
Saat saya tepis tangannya, ia murka dan menjambak rambut saya. Kepala saya pun dibenturkan ke tembok. Saat melawan, ia meninju dan memukul saya tanpa ampun. Ini disaksikan anak-anak, yang hanya bisa menjerit ketakutan.
Hingga kini, ia tak pernah menyesali perbuatannya dan selalu merasa benar. Bila saya ingatkan, ia bilang ini terjadi karena ulah saya sendiri. Ia tak mau mengubah sikapnya dan malah berkata, "Kalau tidak senang, kenapa tidak keluar saja dari rumah?"
Saya sangat ingin pergi Bu, tapi tak tega sama anak-anak. Rasanya ingin mati saja dan merasa tak beruntung punya suami sepertinya. Seandainya saya salah, sebagai suami (apalagi ia jauh lebih tua) idealnya membimbing, memberi nasihat yang baik, bukannya memaki, kan, Bu? Ini malah giat sekali memukuli!
Padahal saya tak pernah keluyuran, tak pernah arisan atau berkumpul dengan teman-teman. Kegiatan saya hanya ke fitness center, antar jemput anak, memasak, dan membantu pembukuan usaha suami.
Sementara suami pulang malam sekali, malah tak jarang pulang pagi. Suami sering marah, karena merasa tak dihargai. Justru saya yang merasa tak dihargai. Ia pun tak malu memaki saya di depan orang lain.
Jika suami melakukan KDRT lagi, apa sudah sepantasnya saya tinggalkan saja, Bu? Rasanya tak ada ketentraman dan kenyamanan dalam hidup. Setiap hari hanya saling memaki dan menunggu dengan berdebar-debar, apa lagi yang akan ia lakukan kepada saya. Saya menunggu saran Ibu, Terima kasih.
DE - Medan
KOMENTAR