Semasa kecil tinggal di kota kelahiran di Ponorogo (Jatim), saya memang sudah suka wayang. Kakek saya lurah dan Bapak adalah guru, tapi jika ditilik dari garis keturunan memang ada garis dalang dari Mbah Lik (adik Kakek). Paman saya juga dalang. Saya kerap ikut semasa Paman pentas. Selain itu, saya juga suka ngeband. Tapi dulu, tidak pernah bercita-cita jadi dalang. Inginnya, sih, bekerja kantoran.
Lalu, apa titik baliknya sehingga ingin jadi dalang?
Sampai lulus SMA jurusan fisika, saya masih belum ingin jadi dalang. Bahkan, saya sebenarnya berhasil masuk Jurusan Elektro, Universitas Brawijaya, Malang, lewat jalur PMDK. Sayang, kondisi ekonomi keluarga tak memungkinkan saya kuliah. Saya sempat kecewa dan jadi anak nakal. Saya sempat minum minuman keras dan kumpul dengan preman terminal.
Sampai suatu ketika, saya kenal Mas Pri, mantan preman yang sudah insaf dan berprofesi sebagai sopir. Mas Pri suka nonton wayang kulit. Kami nonton pertunjukan wayang kulit berjudul Rama Nitis, dengan dalang Ki Gondo Suyatno. Sepanjang pertunjukan, saya merasa disindir sang dalang.
Saya merasa dimarahi akibat kenakalan saya. Apa saja yang dalang sampaikan lewat lakon wayang itu, semuanya masuk dan nyangkut ke saya. Usai pertunjukan, saya sowan ke rumah beliau. Saya sampaikan, saya seperti dimarahi ketika nonton pertunjukan beliau. "Wayang, ya, seperti itu, Ngger (Nak). Wayang memang dekat dengan kehidupan manusia, juga hidupmu." Hari itu juga, saya sampaikan ingin ngenger beliau.
Apa maksudnya ngenger?
Artinya, semacam hidup menumpang di rumah Ki Gondo Suyatno. Beliau, kan, termasuk dalang yang dihormati dan sering sekali pentas di kawasan Ponorogo. Saya membantu pentas beliau dengan menata gamelan dan menyiapkan wayang bersama Pak Kruwet. Begitulah, tugas saya sehari-hari. Saat beliau pentas, dengan pakaian pengrawit saya duduk di belakang nya menyiapkan wayang.
Suatu hari setelah tiga bulan saya ngenger, beliau ada undangan pentas di acara hajatan. "Ngger, nanti siapkan lakon Wahyu Makutharama." Seperti biasa, sore hari saya sudah berangkat mempersiapkan segalanya bersama Pak Kruwet. Beliau biasa datang malam hari, jelang pementasan. Namun sampai jam 21.00 malam, beliau belum juga datang, sementara tamu sudah berkerumun. Pertunjukan harus segera dimulai.
Pak Kruwet langsung menyuruh saya menggantikan sampai beliau datang. Wah, dengan keringat bercucuran saya akhirnya mendalang sampai satu babak. "Apa saya pantas menggantikan, Bapak?" pikir saya saat itu. Usai satu adegan, beliau rawuh (datang) dan langsung mendalang. Beberapa hari kemudian, saya baru tahu semua itu ternyata skenario beliau.
Beliau sudah merencanakan dan negosiasi dengan si empunya hajat bahwa saya yang akan disuruh mendalang. Saya sampaikan kepada beliau, "Pak, saya minta maaf kalau penampilan saya kurang bagus, karena selama ini tak pernah diajari Bapak." Jawaban Bapak membuat saya kaget, "Lha, tiap hari kamu duduk di belakang saya itu ngapain saja?" Wah, ternyata begitu cara beliau mengajari saya.
Tampaknya sudah mantap jadi dalang, ya?
Betul. Semua atas dukungan Pak Gondo. Bahkan, beliau mengatakan, "Mulai sekarang kamu harus mau kalau ada yang nanggap. Boleh ikut Bapak kalau kamu pas enggak ada tanggapan sendiri." Bapak memang sakti. Sebulan kemudian, saya benar-benar dapat order mendalang. Begitulah, saya mulai sering mendalang di Ponorogo.
Dua tahun kemudian, barulah saya kuliah di Jurusan Pedalangan, ISI Surakarta. Saya kan, ingin berkembang. Saya belajar berbagai pakeliran. Saya tahu wayang keraton, wayang Sragen, dan lainnya. Lulus tahun 2001, saya pun semakin memantapkan langkah untuk menjadi dalang. Kini, saya akan terus berporses. Semua tentu juga berkat dukungan istri saya, Widyarsi Kristiani Putri. Dia seorang penari yang saya kenal semasa kuliah. Saya kerap berdiskusi dengan istri, terutama soal produksi.
Henry Ismono
KOMENTAR