Berbagai terapi khusus pun lantas musti ditempuh Alya. Sejak umurnya 2,5 tahun Alya diikutkan berbagai terapi. Di antaranya adalah terapi okupasi untuk belajar menulis, terapi wicara, dan terapi sensor integrasi yang melatih fungsi motorik. Kesemuanya ini, sebut Ratna, tidak murah. "Sebulan bisa Rp 2 -5 juta untuk biaya sekolah dan terapi Alya. Ini belum ditambah dengan makanan khusus buat Alya."
Penderita autisme memang harus menjalani diet khusus agar tak jadi hiperaktif. "Alya tidak makan telur, susu, gula, dan tepung terigu. Sebulan sekali, saya beli makanan khusus untuk anak autis dari produsen di Yogyakarta."
Jika Alya kecolongan salah satu dari bahan tersebut, "Bisa-bisa berhari-hari dia hiperaktif. Kalau sudah begitu, terapi apa pun tidak akan bisa masuk karena dia mengamuk," tukas Ratna yang sudah kenyang melihat Alya memukul-mukul kepala, menggigit meja, hingga menggigit tangannya sendiri sampai berdarah saat mengamuk.
Untungnya, setelah menjalani terapi dengan rutin, Alya banyak mengalami kemajuan. Di usia 5 tahun, Alya kini sudah masuk TK bersama anak-anak normal. "Perjalanan menemukan TK yang pas untuk Alya pun tidak mudah. Ada sekolah yang bagus tapi sangat mahal, ada pula sekolah yang ketika didatangi gurunya melihat Alya dengan pandangan aneh. Yang seperti itu aku coret dari daftar. Aku mencoba realistis saja," tuturnya.
Ratna kemudian menemukan sekolah inklusi yang pas untuk Alya. "Kepala sekolahnya bilang, seperti apa pun perkembangan Alya, dia pasti naik kelas. Sekolah ini sangat membantu perkembangan sosialisasi Alya."
Selalu Optimis
Menjadi seorang ibu bekerja sekaligus single parent telah mengubah Ratna. Ia kini adalah pribadi yang lebih peka dan lebih mudah bersyukur. Di luar sana, sebut Ratna, "Banyak anak autis yang keadaannya lebih parah ketimbang Alya."
Di situlah peran support group orang tua anak penderita autis berperan. Dengan mengikuti milis, Ratna seakan diberi kekuatan setiap hari, "Bahwa aku tidak menghadapi ini sendirian."
Tak memiliki pasangan untuk berbagi juga bukanlah permasalahan yang besar bagi Ratna. "Ketimbang punya pasangan tapi tidak mau ikut susah-payah mengasuh, mengantar terapi, dan mengikuti perkembangan anak, buat saya lebih baik saya sendiri merencanakan langkah apa yang harus ditempuh demi masa depan Alya," katanya.
Salah satu ketakutan terbesar Ratna dalam mengasuh anak autis yakni membayangkan di masa depan nanti Alya tak bisa mandiri, secara emosional maupun finansial. Sebab itulah, Ratna masih menyimpan harap Alya tak termasuk anak autis tipe non-verbal. Toh, keajaiban bisa saja terjadi. "Dokterku bahkan pernah menemui anak autis yang divonis non-verbal tapi tiba-tiba bicara di usia 12 tahun," tukas Ratna.
Meskipun ia tetap bersiap dengan segala kemungkinan, jika kelak Alya ternyata non-verbal, "Aku harap Alya memiliki kemampuan menulis. Pokoknya harus tetap optimis," ujar Ratna seraya merengkuh Alya dalam pelukannya.
Baca juga: Orangtua Berbagi Suka Duka Mengasuh Anak Autisme (2)
Astudestra Ajengrastri, Ade Ryani HMK
KOMENTAR