Ibu Rieny Yth,
Saya (33) saat ini sedang bingung dan membutuhkan nasihat Ibu. Saya sudah menikah hampir 8 tahun. Namun, hingga saat ini belum memiliki keturunan. Kami berencana mengadopsi anak, dari seorang gadis yang tengah hamil, dan ditinggal pacarnya. Usianya baru 18 tahun. Ia tak mau aborsi tapi juga tak berani berterus terang pada orangtuanya. Sebab, ayahnya seorang tokoh politik yang sangat dihormati di daerahnya.
Orangtua gadis ini tak mengetahui kehamilannya, dan ia beralasan sedang praktik kerja sehingga tak bisa pulang ke rumah. Saat ini ia tinggal bersama kami yang berjanji akan membiayai hidupnya sampai anaknya lahir. Sebenarnya, sayalah yang paling ingin punya anak, sementara suami hanya menyerahkan saja pada saya, karena ia tak suka anak-anak, yang katanya cuma bisa berisik dan bikin repot. Tetapi, jika saya ingin, suami tak keberatan.
Yang terang-terangan menentang adalah ibu saya, dengan alasan kami tak tahu keturunannya, apalagi anak itu merupakan hasil hubungan di luar nikah. Dalam hal ini, saya dan suami berprinsip, setiap anak itu terlahir baik, apalagi bila di pelihara dan disayangi, insya Allah ia akan menjadi anak yang baik pula.
Lalu, ibu saya menganjurkan agar mengasuh anak kakak saja, yang kini usianya 3 tahun (dengan satu adik), dan ibunya kini tengah hamil lagi. Bayangkan Bu, kakak saya "kosong" hanya beberapa bulan, eh sudah "isi" lagi. Sementara saya, susah sekali hamil. Sebenarnya, saya tak menolak ide ini, asal kami mengambil anaknya penuh, jadi seperti anak sendiri.
Sedangkan kakak saya maunya, kami "pinjam" anaknya 2-3 hari saja, lalu diambil lagi. Jika saya kangen, bisa diambil lagi, begitu seterusnya. Ibu saya juga maunya kami mengadopsi anak dari keluarga baik-baik, sudah menikah, dan ikhlas memberikan bayinya pada kami, bukan karena tak mau memeliharanya. Mana ada yang seperti ini?
Saya tak mau dianggap durhaka karena tak menuruti kata ibu. Bagaimanapun, doa ibu sangat berarti dalam langkah kita. Salahkah jika saya dan suami tetap meneruskan niat ini, Bu? Apalagi, anak gadis itu sudah tinggal bersama kami, dan hanya menunggu beberapa bulan lagi untuk melahirkan. Ia pun berjanji tak akan menggugat kami kelak. Rencananya, akte kelahiran pun dibuat atas nama kami, sebagai orangtuanya.
Yang saya sedihkan, ibu mulai menggalang kekuatan bersama ke 3 kakak, agar saya mengurungkan niat ini, dengan menceritakan pada mereka, ibu kandung si jabang bayi berakhlak buruk, di rumah pun ia tak rajin, dan pada ibu juga tak hormat. Padahal jika dipikir, kami memang punya pembantu, dan dengan perut besarnya, apa yang bisa ia kerjakan? Tetapi, saya takut dosa jika melawan, sehingga jika ibu datang, saya memilih diam saja, walau tertekan sekali.
Rasanya, hanya saya sendiri yang menghadapi masalah ini, padahal was- wasnya banyak. Bagaimana jika nanti ibunya tak selamat, bayinya cacat, atau ia berubah pikiran? Apakah saya sudah membuat keputusan yang benar, Bu? Bagaimana jika ternyata saya bisa hamil dan punya anak sendiri? Apakah Ibu punya kenalan yang mengadopsi anak? Lebih banyak masalah atau membuat bahagia? Apa syaratnya agar anak adopsi tak menimbulkan masalah di masa datang? Bantu saya ya Bu, saya ingin sekali menjadi ibu, tapi, kok, orang-orang terdekat tak mendukung sehingga saya ragu. Terima kasih.
Sita - somewhere
Sita sayang,
Anak bukanlah koper yang bisa kita angkat 3 hari, dikembalikan lagi ke yang punya, lalu kita ambil lagi saat sedang ingin. Saya sepakat dengan Anda, lupakan saja ide mengambil anak dari kakak. Di sekeliling kita banyak, kok, keluarga yang mengadopsi anak, dan tentu saja statusnya bukanlah faktor penentu kebahagiaan sebuah keluarga.
Ada yang tampak makin harmonis dengan kehadiran Si Kecil. Tetapi, tak kurang juga yang saat belum mengadopsi anak, suaminya hobi keluar malam, dan setelah punya anak, ya tetap dengan hobinya. Namun, seperti banyak hal yang terjadi dalam perkawinan, saya, kok, lebih melihat potensi masalah muncul bila dalam pembuatan keputusan melakukan sesuatu, suami dan istri tidak atau belum sepakat sepenuhnya.
Ini sebenarnya merupakan potensi masalah terbesar. Karena, jika ada pihak yang merasa tak diajak bicara, tak didengar pendapatnya, dan keduanya tidak duduk membahas konsekuensi dari keputusan yang diambil, sikap saling menyalahkan akan mudah sekali muncul, ketika hasilnya tak seperti yang diharapkan.
Ada kenalan saya yang benar-benar tak acuh pada anak angkatnya, dan ia merasa istrinya kurang gigih berobat dan berusaha. Ketika ditanya mengapa ia tak antusias, jawabannya enteng saja, tapi menancap dalam di hati sang istri, "Ah, pacar-pacarku hamil, kok. Sudah jelas aku subur, kamu yang tidak rajin ke dokter, tahu-tahu mau enaknya saja mengambil anak."
Hidup ini membutuhkan adanya nilai-nilai yang diyakini sebagai standard kebaikan, Jeng Sita. Saya amat percaya, kejujuran harus jadi prioritas dalam hidup ini agar hidup tentram dan tak banyak beban. Maka, jika Anda siap mengadopsi, mestinya Anda pun siap berlaku jujur pada anak tentang statusnya.
Lihatlah pasangan orang asing, sejak dini menceritakan pada anak angkatnya, mereka bukan orangtua biologis anaknya. Bandingkan dengan anak-anak angkat di sekeliling kita, yang biasanya baru tahu statusnya setelah dewasa, atau malah diberi tahu orang lain, atau ketika kondisi hubungannya memburuk dengan orangtuanya.
Banyak diantara mereka yang tak pernah bisa menyelesaikan dendamnya karena merasa direnggut dari orangtua kandungnya, atau rasa marah karena memang ibu angkatnya tak bisa membuatnya merasa disayangi secara tulus. Dan yang paling sering terjadi, merasa dibohogi tentang statusnya.
Padahal, setiap orang berhak lho, Jeng Sita, mengetahui siapa orangtua kandungnya. Bahkan, dalam Islam, setiap anak wajib mendoakan orangtuanya. Nah, saran perama saya, jangan pernah sembunyikan status anak Anda nantinya. Jika Anda punya rasa percaya diri yang kuat, dan anak sayang pada Anda, bukan hal sulit untuk menceritakan tentang apa arti ibu biologis dan ibu angkat, sesuai tahapan usia dan pemikiran anak.
Jika Anda berkehendak menyembunyikan statusnya, pasti Anda akan mudah curiga pada keluarga yang mulutnya memang panjang alias suka bicara. Takut pada tetangga yang tahu Anda tak pernah hamil, lalu karena takut, anak tak diperkenankan main dengan banyak orang. Pembantu selalu Anda ancam untuk tidak bercerita. Lalu, Anda membatasi pergaulan anak. Wah, capek deh, judulnya.
Dalam situasi seperti ini, pastilah Anda masuk dalam golongan ibu "parno" alias paranoid, selalu curiga ada orang yang akan membocorkan rahasia Anda.
Berikutnya, upayakan agar suami terlibat dalam pengasuhan anak, bukan dari sisi repotnya, tapi dari sisi yang menyenangkan. Rajinlah menceritakan kemajuan perkembangannya, buat agar anak sudah bersih dan wangi ketika suami pulang. Ajari anak memanggilnya Papa.
Ini semua akan membuat suami lalu punya pengalaman positif dengan anaknya. Jika tiap kali Anda mengeluh repot oleh ngompolnya, tangisan tengah malamnya, biasanya suami akan enteng sekali berkata, "Siapa suruh mengambil anak?" Dibarengi stres dan kelelahan fisik, bisa dibayangkan, Anda lalu akan merasa amat sedih, sendirian, dan yang paling kasihan, jika kemudian Anda malah jadi meyakini, anak inilah sumber masalah Anda! Jangan sampai terjadi, ya Jeng Sita.
Jika ibu menggalang kekuatan bersama para kakak, galanglah kesepakatan positif dengan suami. Jika Anda berdua kompak, insya Allah, masalah apapun akan bisa diatasi, termasuk keengganan ibu pada cucu angkatnya. Anda benar, setiap anak terlahir dengan fitrah baik. Peran lingkungan terdekat dalam membesarkannya, akan memengaruhi bagaimana kelak ia tumbuh dan berkembang. Maka, jika Anda mengajarkan apa artinya dicintai, disayangi dan diterima apa adanya, anak pasti akan memiliki rasa aman dan lekat dengan Anda sebagai ibunya.
Jangan jadi ibu yang pandai mengancam, "Jika tidak manis, artinya tak sayang Mama. Ayo, harus menurut!" Atau, berlagak seperti rentenir, "Hitung! Berapa banyak biaya yang sudah Bunda keluarkan untuk membuat kamu jadi orang? Lihat saudara-saudara kandungmu, naik bus ke mana-mana. Dasar tak tahu diuntung!" Atau lebih parah, yang justru membuat anak merasa tak nyaman dengan dirinya sendiri, karena ibunya pandai sekali mengiba,"Yah, sudah garis tangan Ibu kayaknya, cuma membesarkan kamu tapi kamu tak sayang Ibu," sambil berurai air mata ketika sedang berbeda pendapat dengan sang anak.
Ibu jenis ini, melakukan apa yang disebut emitonal black mail pada anaknya. Dan hemat saya, ini bahaya Jeng Sita, karena produk dari pengasuhan seperti ini adalah anak yang pandai berbohong, egois, sigap sekali bersilat lidah untuk membuat dirinya tampak benar. Dari sisi akhlak, ia tampak rendah integritasnya karena hanya mementingkan kenyamanan dirinya sendiri. Ia pandai berdusta, karena itulah satu-satunya cara yang ia kenal untuk membuat ibunya tak marah padanya. Bohong saja, yang penting selamat!
Nah, rambu-rambu yang paling dini sudah saya ceritakan, selebihnya, nikmti saja pengalaman meaajdi ibu, Jeng Sita. Pastilah amat menyenangkan. Bukankah perempuan diberi Allah kelengkapan rahim (yang tak dimiliki pria) untuk dapat membuatnya lebih hangat, emosional, penuh rasa cinta, dan mengasihi? Manfaatkan ini secara optimal, segala perbuatan baik akan kembali menjadi pengaruh baik pada diri kita. Dan, jika Anda punya niat tak terpuji, energi negatiflah yang akan kembali pada Anda. Rugi, bukan?
Karena, individu yang didominasi energi negatif akan tampil sebagai sosok yang juga tak menyenangkan bagi lingkungannya. Mari kita terus berupaya agar orang lain yang berinteraksi dengan kita merasakan kehangatan, optimisme, dan utamanya kejujuran dalam menjalani hidup ini. Jeng Sita mau, kan, menjadi sosok seperti ini? Salam hangat.
KOMENTAR