Saya bukan menyombongkan diri, Bu. Di kantor, kepribadian saya termasuk yang dikagumi teman-teman, wajah tidak mengecewakan, dan kata teman-teman, penampilan saya pun terbilang oke. Itulah yang terkadang membuat saya kecewa dengan suami. Cukup kuat saya menjaga kesetiaan di antara kesepian-kesepian saya, tapi dia malah mengabaikan, bahkan meremehkan saya.
Ibu, tolonglah saya. Apakah rumah tangga kami masih bisa dipertahankan? Apakah lebih baik kami tinggal terpisah saja (suami tak usah pulang ke rumah) untuk sementara waktu, sampai kami bisa merasakan, apakah masih saling membutuhkan atau tidak. Saya betul-betul bingung, Bu. Akankah trauma masa lalu ini terwariskan ke anak-anak saya? Terima kasih, Bu.
R - Makasar
Bu R,
Tentu saja rumah tangga Anda dapat dipertahankan jika Anda dan dan suami bersedia membuat kesepakatan-kesepakatan baru dan utamanya memperbaiki kualitas komunikasi di antara Anda berdua. Dari gambaran yang Anda berikan tampaknya erosi kepercayaan kepada pasangan di dalam perkawinan Anda sudah memasuki taraf parah.
Ibarat tanah, ia sudah menunjukkan gejala longsor, banjir, dan sebagainya, akibat "penggundulan" seperti yang kita alami sekarang ini. Bila pada tanah, yang digunduli adalah hutannya, maka pada perkawinan, perilaku yang mencederai komitmen itulah yang menggunduli rasa saling percaya yang ada.
Saya berani mengatakan sudah parah, karena ini sudah berdampak pada kemampuan suami untuk melakukan kewajibannya memenuhi kebutuhan biologis Anda, sehingga ia mengalami disfungsi ereksi. Saat ia melakukan perselingkuhan, sebenarnya suami, seperti yang suami Anda tahu, dia melakukan kesalahan dan pengkhianatan.
Sebab, pada dasarnya dia masih memiliki rasa cinta, menyayangi Anda dan anak-anak, dan ada perasaan bersalah yang menghantui dirinya. Nah, ini adalah fase kritis bagi seorang pria. Karena, jika istrinya lalu cenderung menyalahkan dan menyudutkan dia terus-menerus atas kesalahan yang dilakukannya, di alam bawah sadarnya akan tumbuh sebuah keyakinan: dia tak cukup baik untuk istrinya.
Kondisi ini menyebabkan dia resah, marah, dan terutama bingung, saat harus berhubungan intim dengan istrinya. Dia merasa dirinya buruk dan tidak selevel dengan istrinya, yang lalu terasa jauh lebih baik dari dirinya. Kemudian, ini menyebabkan dia minder dan berdampak pada menurun atau hilangnya kejantanan. Sementara, bila ia berhubungan dengan perempuan lain, tak ada perasaan-perasaan tadi, sehingga ia lancar-lancar saja berhubungan seks.
Rumit, ya? Terutama untuk sang istri, di satu sisi tak mendapat nafkah batin, tetapi di sisi lain istri tahu, jika diyakinkan dan disayang-sayang, suami akan bisa berfungsi. Di saat yang sama, istri masih marah dan kesal pada suami. Wah, bertubi-tubi ya, dan rasanya, kok, istri terus yang harus menanggung semua ini. Padahal, siapa yang salah? Suami, kan?
Nah, inilah hal kedua yang mau saya sampaikan pada Anda, Bu R. Selama harus ada pihak yang salah dan ada yang ingin benar, komunikasi yang terjadi hanyalah pertukaran pernyataan-pernyataan negatif belaka. Karenanya, perasaan yang menyertai pun, yang negatif. Bagaimana bisa merasa nyaman dan hati senang jika yang kita lontarkan pernyataan, "Abang memang buaya darat. Tidak bisa dipercaya, check in di hotel hanya untuk membuktikan kejantanan. Buktikan dengan saya, dong! Buat apa buang uang?"
Pernyataan-pernyataan seperti ini, ditambah besarnya kebutuhan pada diri Anda untuk membuatnya mengakui bersalah, tentu akan memicu kemarahannya. Apalagi sih, Bu yang akan dilakukan laki-laki jika sudah terpojok, pastinya marah, bukan? Lalu, apakah kemarahan, yang akhirnya membuat Anda juga marah, lalu memecahkan masalah?
Tidak, Bu R. Taruhlah suami mengaku, pasti Anda akan marah juga kan? Cuma kali ini, yang Anda katakan adalah, "Teganya Bapak ini!" Jadi, belajarlah mengendalikan emosi ya Bu, berpikir serta bertindak untuk sebuah solusi, bukan memperpanjang pertengkaran. Sudah jelas dia, kok, yang salah, enggak usah dipertegas lagi.
Bila Anda kasihan pada anak-anak, masih cinta padanya, dan ingin mempertahankan perkawinan, peliharalah tekad yang sangat baik ini dengan fokus pada upaya untuk terlebih dahulu membangun kembali landasan kepercayaan antara Anda berdua. Dengan bersama-sama, Anda berdua berpeluang lebih happy ketimbang perang terus. Berhentilah memata-matai dan mengata-ngatai dia. Ceritakan perasaan Anda saat dia bertelepon dengan WIL (Wanita Idaman Lain)-nya, saat Anda susah payah membantunya ereksi dan berhasil, serta saat Anda menginginkan agar ia tetap jadi suami anda.
Berdiskusi tentang perasaan dan harapan Anda, akan lebih manfaat ketimbang hanya menilai perilakunya dan menyuruhnya "mengunyah-ngunyah" terus rasa bersalahnya terhadap Anda, apalagi menyuruhnya mengingat-ingat betapa sudah bersalahnya dia pada Anda. Susah memang Bu, tetapi jika Ibu tahu kelak akan berbuah baik, di tahapan ini Anda akan mau bekerja keras untuk membuat suami yakin, dengan kembali kepada Anda, merupakan keputusan terbaiknya.
Berbuatlah bagi masa depan keluarga yang telah belasan tahun serta susah payah dibina bersama ini. Jangan lupa, perbanyak melakukan aktifitas bersama anak-anak, terutama dalam menjalankan ritual agama yang Anda anut. Indah sekali jika suami kemudian benar-benar bisa berperan sebagai pemimpin istri dan anak-anaknya, di dalam segala bidang kehidupan, termasuk saat beribadah. Jangan putus asa ya Bu, jadikan pengalaman masa kecil Anda sebagai acuan untuk membuat anak-anak tak perlu mengalami apa yang dulu Anda alami. Salam manis.
KOMENTAR