Saya sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta yang lumayan besar selama 2 tahun. Ini pengalaman kerja pertama saya. Jabatan saya staf dan 90 persen pekerjanya perempuan, rata-rata belum atau tidak menikah. Di kantor, saya punya senior yang lebih tua 5 tahun dan sudah 5 tahun bekerja di perusahaan ini (sebut saja X).
Masalahnya, saya kesulitan beradaptasi dengan X. Emosinya sering tidak terkendali dan tak dapat ditebak. Apalagi sejak kami berganti manajer setahun lalu. Ibu Manajer (IM) yang sekarang adalah sahabat X. Saya sendiri tidak dekat dengan IM karena berulang kali saya ajak omong baik-baik tentang masalah pekerjaan, selalu saya yang disalahkan dan kena marah.
Saya tidak tahu apa saja yang dibicarakan X kepada IM, sehingga saya selalu dalam posisi salah. Apalagi IM sering keluar kota/negeri, sehingga urusan pekerjaan sehari-hari ditangani X. Saya sudah berusaha melakukan yang terbaik yang saya bisa, bahkan pekerjaan kantor sering saya bawa pulang ke rumah dengan harapan IM dan X bisa menerima dengan baik kehadiran saya. Tapi yang saya dapat hanya sindiran dan dampratan saja.
Bahkan X, tidak segan-segan memarahi saya di depan anak buah. Saya benar-benar tersinggung, malu, dan minder. Saya pernah berpikir untuk membalas kelakuan X, tapi urung karena rasanya tidak pantas, mengingat kami di level staf, bukan karyawan biasa. Apalagi saya dibesarkan dalam keluarga dengan budaya keraton Jawa, sementara IM dan X ini dari etnis lain. Memang, hampir semua jabatan staf dijabat oleh etnis tadi.
Saya bukannya rasis Bu, tapi perilaku mereka sangat-sangat kasar, tidak ada sopan santunnya. Saya merasa suasana kerja "panas" setiap hari, bahasa kasar terdengar setiap saat. Saya sebenarnya ingin sekali pindah kerja, tapi tidak bisa. Orang tua bilang, di tempat baru, belum tentu saya dapat suasana kerja yang lebih baik, bisa sama atau bahkan lebih buruk. Belum lagi susahnya mencari kerja di zaman sekarang.
Apalagi biaya pindahan dari Surabaya ke Bandung sangat mahal. Saya malu kalau orang tua harus keluar biaya lagi untuk saya. Saya pingin mandiri, Bu. Kata orang tua saya harus mengalah, lebih sabar, dan berdoa menghadapi kelakuan IM dan X. Belum lagi anak buah saya berencana mogok kerja kalau saya jadi pindah kerja. Anak buah sering tidak tahan dengan perlakuan X, dan saya jadi tempat mereka curhat. Tapi saya sendiri, kan, tidak bisa curhat sembarangan. Saya berusaha tidak terpancing emosi, karena khawatir dicap provokator.
Jadi, di kantor, saya tidak punya orang yang bisa dipercaya. Saya tidak percaya pada semua orang. Akibatnya, semua saya pendam sendiri. Saya jadi sering sakit-sakitan, mungkin stres ya, Bu, padahal selama sekolah dan kuliah saya ini atlet beladiri dan jarang sakit.
Saya pernah mengajak X bicara baik-baik, tapi endingnya dia marah-marah. Saya jadi kapok bicara dengannya. Saya dianggap lambat bekerja dan terlalu baik pada semua orang, terutama anak buah, sehingga dia merasa dia bekerja sendirian. Padahal, untuk urusan rutin sehari-hari, sayalah yang mengerjakan. Saya sangat lelah dengan situasi seperti ini. Hidup rasanya muram, apa-apa yang ada di kantor malah membuat saya tertekan dan serba salah.
Saya tak punya teman atau sahabat di kota ini, apalagi pacar. Saya mengontrak rumah sendirian. Orang tua saya dinas di Solo. Saya sangat-sangat lelah dan butuh nasihat Ibu. Terima kasih.
R di X
Jeng R yang terhormat,
Sepuluh tahun lalu, adik perempuan saya memberi saya oleh-oleh sepatu hitam yang sangat enak dipakai dengan kulit dari kualitas terbaik, ketika ia keluar negeri. Sepatu ini adalah 'andalan' bila saya harus mengajar dan berdiri untuk waktu lama, karena tidak membuat pinggang saya sakit. Yang 'kalah' hanya sol di tumit yang secara berkala harus saya ganti. Apa sih, hubungan sepatu dengan bos galak, begitu mungkin tanya Anda. Putri Solo, kan, sabar, jadi sabar dulu ya, karena saya bermaksud menceritakan sesuatu.
Baru kemarin, tukang sol sepatu langganan lewat dan seperti biasa ia menyapa, "Parantos rusak, Neng?" tetapi kali ini ada yang tidak biasa, karena ia diiringi seorang anak lelaki 10 tahunan bercelana panjang, kemeja tangan panjang, topi, dan sepatu kets. Ternyata, ia adalah bungsu si Mamang, dan waktu saya tanya apa yang sedang dia lakukan, dengan ceria ia menjawab, "Liburan."
Selidik punya selidik, ternyata anak yang tinggal di desa ini menyusul ayahnya ke Jakarta, ikut berjalan menyusuri rute ayahnya, dalam rangka liburan sekolah. Wajahnya happy dan ekspresi ingin tahunya tentang keadaan sekeliling membuat saya terharu, alangkah mudahnya membuat diri senang ketika hidup ini kita lihat juga dengan tidak rumit, ya?
Saya jadi terbayang seorang teman yang jauh lebih muda usianya dari saya dan baru menelepon paginya, menceritakan anaknya yang ngambek karena kali ini 'Cuma' akan diajak ke Malang menengok kakek yang belum lama ditinggal nenek selamanya. Bukan liburan namanya, begitu kata si anak. Karena, buat dia, yang disebut libur adalah Bangkok, Singapura, atau Australia, seperti saat-saat sebelumnya.
Jadi, Jeng R, libur yang pada hakikatnya adalah berhenti sejenak dari kegiatan rutin di sekolah, ternyata dipandang, dipahami, dan kemudian diyakini sebagai aktivitas yang amat berbeda oleh kedua anak tadi, bukan? Yang satu, beriring-iring dalam panas dengan ayahnya menjajakan jasa sol sepatu, dengan yakin mengatakan ini adalah liburannya. Sementara, anak teman saya sudah akan naik pesawat, lalu menempuh perjalanan darat dari Surabaya ke Malang, akan tinggal di rumah kakek yang halamannya luas dan di belakangnya ada sungai berair jernih, bukan libur katanya.
Everything start in your mind! Segala sesuatu yang kita alami dan kemudian kita cermati sebagai bagian dari keseharian, pemahamannya dimulai dari apa yang ada di benak kita, BUKAN oleh apa yang terjadi di luar diri kita. Nah, ini yang saya ingin sampaikan pada Anda, Jeng R. Maka, tak usah gundah gulana atau malah stres ketika kita berbeda penafsiran tentang sesuatu dengan orang lain. Kebanyakan, kita menjadi stres karena menganggap diri paling benar dan merasa aneh, kenapa orang lain, kok, tak berpikir seperti kita. Tetapi, manusia memang makhluk unik, sehingga kalau yang satu besar di keraton dan yang satu lagi mungkin di daerah pecinan yang padat, mestinya lumrah, dong, kalau gaya interaksinya juga berbeda. Bahasa yang terdengar kasar di telinga Anda bisa saja terasakan sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja untuk para atasan tadi.
Rumitnya, bingkai situasi ini adalah pekerjaan dan Anda bawahan pula. Sehingga, ketika Anda merasa sudah bekerja keras dan tidak mendapatkan penghargaan (reward) seperti yang Anda harapkan, ditambah lagi perbedaan gaya dalam mengekspresikan diri, motivasi kerja Anda lalu melorot tajam dan bekerja lalu terasa jadi stressor, alias sumber stres.
Secara teoritis, paling mudah menyarankan Anda untuk berhenti saja, bukan? Wong sudah enggak cocok, ngapain juga, sih, diterus-teruskan. Tapi, kalau saya katakan ini pada Anda, bukan pengarahan namanya, melainkan penyesatan. Karena, kalau Anda keluar, pasti bukan hal yang mudah untuk menemukan penggantinya. Dan, lebih penting lagi, kalau Anda tak belajar menyiasati atasan yang sulit, kemana pun Anda bekerja pasti akan Anda temui orang sejenis ini, walau mungkin dalam kemasan yang berbeda.
Dalam pekerjaan, biasanya ada paling sedikit 3 jenis bos yang kita kategorikan sebagai atasan sulit. Pertama, yang mulutnya seperti silet, tajam, dan tak enak didengar. Yang kedua yang narsis. Ini berasal dari mitologi kuno Yunani yang berkisah tentang sosok yang hanya mencintai dirinya sendiri. Bos sejenis ini tak mau berbagi 'panggung' dengan anak buahnya. Ia cenderung mau menyelesaikan semua masalah sendirian, senang sekali bila mendengar puja-puji pada dirinya, walau mungkin itu cuma kata-kata palsu si penjilat. Akibatnya, ia selalu punya anak emas yang ia percaya 100 persen, dan karenanya staf yang lain lalu jadi anak tiri yang merasa disisihkan dan tidak diperhatikan. Bos seperti ini amat mahir merontokkan rasa percaya diri anak buahnya.
Jenis ketiga adalah tipe PARNO, kata anak muda masa kini, yaitu kependekan dari Paranoid. Sebenarnya ini istilah untuk menerangkan kelainan jiwa yang ditandai oleh waham ketidakpercayaan dan curiga berlebih pada orang lain. Bos Parno ini tak pernah bisa percaya pada anak buah, menjaga jarak, dingin, kaku, dan menganggap orang lain selalu bermaksud buruk padanya. Ia tak suka berbagi informasi yang memudahkan pekerjaan orang lain, dan masukan maupun kritik anak buah dianggapnya sebagai ancaman bagi kelangsungan kepemimpinannya.
Atasan Anda tampaknya lebih tepat masuk ke dalam golongan silet, ya? Mereka biasanya sosok yang tak merasa puas dengan dirinya sendiri dan punya kebutuhan besar untuk membuat orang lain agar memiliki perasaan serupa dengan dirinya.
Beda dengan bos Narsis yang biasanya punya PD berlebih, sehingga 'over PD' maupun Bos Parno yang biasanya memang punya kompetensi yang bagus di bidangnya, biasanya Bos Silet ini naik jabatan lebih karena faktor-faktor di luar kemampuannya. Sudah senior alias lama bekerja misalnya, punya hubungan baik dengan atasan, atau bawahan yang rajin 'menjilati' pantat atasannya sampai mengkilap. Kalau ada tanda-tanda anak buahnya menguasai tugas dengan baik, ini justru ancaman untuknya. Ia akan lebih senang bila bisa sering-sering memaki anak buah dengan "Goblok banget, sih, kamu, enggak ada inisiatif" atau "Mbok kamu pergi ke psikiater, kayaknya kamu gila, deh, kalau orang waras mah enggak kaya kamu gitu."
Sumber kekecewaan anak buah biasanya adalah sebuah kenyataan obyektif bahwa sang bos sebenarnya jauh lebih tidak mampu dibanding orang yang ia goblok-gobloki tadi! Tak heran bila bos silet ini hampir selalu punya 'gantungan" alias deking di atas dirinya, tempat ia lari dan mengadukan anak buahnya yang bikin pusing kepala (karena lebih pintar dari dirinya). Orang Jawa memakai istilah "ngatok" untuk hal ini.
Strategi utama menghadapi bos seperti ini adalah jangan pernah berharap bahwa ia akan berubah! Mau kerja keras kek, berbaik-baik kek, ia akan tetap saja mengeker kekurangan Anda, karena pada dasarnya ia sedang 'melemparkan" perasaan-perasaan mindernya pada Anda. Nah, supaya hubungan menjadi lebih nyaman, Anda yang harus berubah. Apanya? Harapan Anda tadi, bahwa ia akan berubah. Berhenti, deh, berharap ia berubah, karena proses ia menjadi minder dan lalu melakukan kompensasi seperti ini biasanya berakar pada masa lalu, dimana ia dibesarkan dalam keluarga dimana biasanya orang tuanya merupakan sosok yang suka mengkritik dan mengecam anaknya sehingga anak tumbuh dalam perasaan tidak berdaya.
Bila Anda bisa mengubah pikiran di benak Anda bahwa cukup tugas-tugas diselesaikan seperti apa yang ia kehendaki, maka fokuslah pada tugas utama Anda dan selesaikan seperti yang ia inginkan. Bila ia berinteraksi dengan Anda, sedapat mungkin jadilah seperti kaset rusak, yang lalu terulang-ulang pemutarannya. Perbanyak katakan "ya Bu, ya Bu." Bila salahnya sudah keterlaluan, gunakan kata-kata 'bersayap' sejenis ini, "Bu, rasanya Ibu pernah memberi petunjuk pada saya bahwa situasi yang seperti ini kalau dilakukan dengan cara Ibu yaitu bla bla bla" akan lebih efektif penyelesaiannya ketimbang mengatakan, "Secara prosedural, yang Ibu putuskan ini salah. Kita akan kehilangan banyak biaya, lho, Bu."
Padahal, si Ibu mungkin tak pernah mengatakan ide cemerlang tadi (wong dia memang gwuobl), tetapi karena Anda menyebut sesuatu yang bahkan tak terpikir olehnya dan itu benar, maka ia lebih mudah mengiyakan. Bukankah persetujuannya lebih penting dibandingkan menggarisbawahi ide siapa ini sebenarnya?
Nah, ini menjadi hal berikut yang bisa Anda pakai. Buanglah keinginan untuk menjadi pusat perhatian, atau kalau di sinetron barangkali tak perlulah jadi peran utama. Peran pembantu saja, yang penting bantuan Anda memang efektif untuk memecahkan masalah dan menuntaskan kerja.
Dengan melakukan hal-hal di atas, sebenarnya Anda bukan sedang membuat bos silet tadi senang, lo. Anda justru sedang membentengi diri agar ketidaknyamanan tidak hinggap lagi ke diri Anda. Ingat, segala sesuatu dimulai dari apa yang ada di benak Anda. Maka, mulailah dengan mengubah pandangan Anda tentang pekerjaan dan lingkungan kerja Anda. Kesediaan membuka diri, dalam arti membiarkan orang memperoleh lebih banyak informasi tentang diri Anda, akan menumbuhkan kepercayaan orang lain, dan sebaliknya.
Inilah celah yang memberi Anda peluang untuk punya teman sejati, membuka diri tak usah harus berarti bercerita tentang konflik Anda dengan bos, tetapi banyak hal lain tentang diri yang bisa dibagi pada orang lain, bukan? Bila Anda tidak terasa sebagai sosok asing untuk orang lain, pastilah hubungan akan makin menyenangkan, sehingga Anda tak terlalu merasa sebagai putri Solo yang kesepian di antara mojang priangan, bukan? Salam sayang.
KOMENTAR