Olahraga panahan sudah tak asing buat Anda, ya?
Ya. Apalagi keluarga besar saya banyak yang terjun ke panahan. Mendiang Nenek, Subadriyah, juga atlet nasional panahan di eranya. Dilanjutkan oleh Mama, Lilies Handayani. Papa, Deny Trisyanto, sebelumnya pesilat tapi akhirnya beralih ke panahan juga. Belum lagi kedua adik saya, om, tante, dan para keponakan.
Saya masih ingat, dulu waktu masih balita, setiap Mama bertanding ke daerah selalu mengajak saya. Jadi sejak kecil saya sudah bisa merasakan atmosfer saat atlet panahan berlaga di arena.
(Ibunda Dinda, Lilies Handayani, termasuk atlet panahan legendaris Indonesia. Di Olimpiade Seoul 1988 Lilies meraih medali perak. Prestasi itu mengukuhkan dirinya sebagai atlet pertama Indonesia yang berhasil menjadi juara di ajang olahraga paling bergengsi di dunia).
Sejak kapan mulai pegang busur panah?
Nah, saat masih balita saya suka coba mainkan busur-busur punya Mama sekenanya. Begitu tahu saya ada minat, Mama mulai memfasilitasi dan mengajari cara memanah yang benar. Karena masih kecil, saya diberi busur yang ringan. Baru di usia 7 tahun saya diikutkan pertandingan pra junior di Bojonegoro. Beruntung, saya langsung dapat medali emas, jadi saya makin terpacu untuk terus berlatih. Sejak itu saya aktif sebagai atlet panahan sampai sekarang.
Apa bedanya panahan dengan cabang olahraga lain?
Panahan tak sekadar olah raga, tapi juga olah rasa. Artinya, atlet panahan tak sekadar butuh fisik yang kuat, ketika memegang busur dan mengarahkan anak panah ke sasaran dibutuhkan kepekaan rasa yang tinggi. Sedikit saja grogi, jangan harap bisa tepat sasaran.
Sebaliknya, bila hati tenang, konsentrasi tinggi, dan tak banyak pikiran, itu jadi satu poin yang membantu ketepatan busur mengenai sasaran. Rasanya, wow.. nikmatnya tak tergantikan. Karena itu, bila seseorang sudah memilih panahan, akan sulit melepaskannya.
KOMENTAR