"Grace lari... lari!" ujar temanku. Tanpa berpaling, aku segera lari, masuk ke gedung Wisma Nusantara, Jakarta. Sekian detik kemudian, seorang pria dengan pisau terhunus sudah berada di tempat aku semula berdiri. Satpam segera bertindak dan mencoba mengamankan orang itu. Pria itu menyabet-nyabetkan pisaunya. Juru kamera sempat terkena sabetan di bagian perutnya dan mesti dirawat di rumah sakit. Tak lama kemudian, pria itu berhasil diamankan.
Kejadian yang sama sekali tak kuduga itu terjadi saat aku siaran live Kabar Indonesia Malam TV One, pas jeda iklan. Kebetulan, syuting dilakukan di halaman Wisma Nusantara dan posisiku membelakangi jalan raya. Tentu saja, kejadian bulan Desember silam itu membuatku syok. Meski begitu, aku sanggup menyelesaikan tugasku malam itu. Belakangan dari pemeriksaan polisi, pengakuan pria itu berubah-ubah. Suatu kali dia mengaku benci dengan nomor 1. Saat yang lain, pengakuannya berubah lagi. Ia mengaku sebagai penggemarku. Memang rada aneh.
Aku jadi parno (paranoid, Red.). Takut kejadian serupa terulang. Kendati demikian, aku tetap fokus pada pekerjaanku sebagai anchor. Sudah beberapa bulan belakangan ini, aku ikut pegang Kabar Indonesia Malam. Bersama tim, aku ikut menentukan topik sekaligus narasumber. Karena TV One merupakan teve news, tentu saja aku dan teman-teman memilih topik yang paling hangat pada hari itu. Formatnya, ada segmen ketika aku mewawancarai narasumber. Yang membanggakan, aku juga masuk nominasi Panasonic Awards tahun 2012 untuk kategori presenter berita dan informasi.
Narasumber Berkelahi
Nah, mencari narsumber (narsum) ini bukan hal gampang. Sering, lho, beberapa jam sebelum syuting kami masih belum dapat narsum. Sekarang, kan, teve makin banyak. Narsum yang paling oke biasanya jadi rebutan, baik oleh teman-teman dari teve lain atau teman sendiri yang pegang program berbeda. Topik yang paling hangat, kan, hanya satu. Jadi, kadang terjadi topik Kabar Malam sama dengan yang lain. Apalagi sebagai teve berita, sepanjang acara TV One banyak mengedepankan news. Kalau sudah begitu, kami mesti kreatif membedakan sudut pandang pemberitaan. Termasuk kreatif mencari narsum yang cocok ketika narsum lain tidak bisa hadir.
Kadang terjadi juga perubahan topik di saat-saat terakhir. Ini bisa terjadi bila tiba-tiba ada berita baru. Padahal, sebelumnya aku dan teman-teman sudah kontak narsum. Topik berubah, tentu saja narsumnya juga berubah. Wah, kami jadi enggak enak sama narsum, apalagi teman yang langsung mengontaknya.
Pernah pula, aku mengalami peristiwa yang tidak mengenakkan. Saat itu, kami mendatangkan dua narsum anggota dewan yang sejak awal sudah berantem. Penyebabnya, salah satu menuduh rekannya terlibat kasus korupsi, sedangkan yang lain merasa tuduhan itu tidak beralasan. Mereka sudah sampai Wisma Nusantara 15 menit sebelum siaran. Eh, begitu bertemu mereka sudah berantem. Bahkan, salah satu langsung menonjok. Pihak yang ditonjok langsung pulang.
Bayangkan, narsum yang sudah siap, tiba-tiba ngambek. Padahal beberapa menit lagi sudah mesti syuting. Untung, salah satu sumber masih bersedia ikut siaran. Masih beruntung lagi, pihak lawannya bersedia diwawancarai lewat telepon. Meski tidak jumpa langsung, kedua narsum ini masih saja bertengkar. Seru!
Kejadian seperti itu sering banget. Makanya becandaannya teman-teman, "Ini bukan siaran langsung" tapi "Langsung Siaran". Jadi, aku dan teman-teman kerap deg-degan dengan situasi yang mudah berubah. Meski begitu, aku sudah begitu menikmati pekerjaanku. Padahal, pekerjaan seperti ini, tidak pernah kucita-citakan.
Masuk Gudang 1 Jam
Dulu semasa kecil, cita-citaku sering berubah. Pernah, aku bercita-cita jadi dokter. Kala lain, ingin kerja hotel. Dalam bayanganku pasti enak sekali. Tempatnya bagus, suasananya adem, dan makanannya enak. Lucu, ya. Namun, ketika masuk SMA aku sudah rasional. Aku ingin menjadi akuntan. Apalagi nilaiku bagus. Konon, profesi akuntan dibutuhkan di mana-mana. Gampang cari pekerjaan. Makanya, selepas SMA aku kuliah mengambil Akuntansi di Institut Bisnis Indonesia (sekarang Institut Bisnis dan Informatika Indonesia).
Sebelum aku melanjutkan kisah tentang profesiku, aku ingin menceritakan masa kecilku. Banyak, lho, cerita lucu di rumah kami di kawasan Kemayoran. Aku yang lahir di Jakarta 4 Juli 1982, punya dua adik lelaki. Namanya Henry Ngadiman dan Junior Theodoric. Usia kami berjarak dua tahun. Orangtuaku, pasangan Brata Ngadiman dan Anna Clementine memberiku nama Grace Natalie Louisa.
Dari ayah mengalir darah Jakarta, sedangkan dari Ibu yang berasal dari Bangka Belitung, ada darah Belanda dan Tionghoa. Namun, Ibu sudah lama sekali enggak menginjak tanah kelahirannya. Beberapa tahun lalu pas heboh film Laskar Pelangi, aku bersama ibu dan temanku, pergi ke Belitung. Wah, luar biasa indahnya. Bahkan, panoramanya jauh lebih indah ketimbang yang kulihat di film.
Pantainya bersih, ada batu-batu sebesar rumah, sungguh pemandangan menakjubkan. Aku senang sekali ketika nelayan mengajakku menangkap ikan di pantai. Caranya dengan membentangkan jala dari ujung ke ujung, mirip dengan net. Ketika air berayun ke darat, banyak ikan yang menancap di jala. Fantastis bisa melihat jenis ikan yang belum pernah kulihat. Mulutnya kayak moncong, lancip sehingga bisa menancap di jala.
Lebih menakjubkan lagi ketika kami ke sebuah rumah yang dipakai untuk syuting Laskar Pelangi. Betapa tidak, menurut Mama, rumah itu milik leluhurku. Sekarang, rumah itu ditempati keluarga jauh. Begitu masuk rumah, aku terkesima melihat foto-foto yang terpajang di sana. Ternyata, itulah foto leluhurku, ada yang Belanda, ada pula Tionghoa. Menurut cerita Mama, di Babel memang lazim terjadi perkawinan campur.
Oh ya, karena usiaku dengan adik-adik tak beda jauh, kami sering bertengkar. Pernah, kenakalan kami berujung hukuman dari Mama. Kami bertiga sama-sama dapat hukuman. Aku dikunci di gudang, Henry masuk kamar mandi, sedangkan Theodoric mesti merasakan pengapnya ruang tamu yang lama tak dipakai. Wah, kami dihukum sampai sejam lebih. Saking ngantuknya, aku sampai tidur beralas gorden bekas. Si bungsu masih mendingan karena ruang itu ada ranjang. Bagaimana dengan Henry? Wah, dia paling sengsara karena mesti berbasah-basah di kamar mandi. Habis itu, kapok deh...
Bagaimana dengan Papa? Papa, kan, kerja jadi wirausaha, sedangkan Mama ibu rumah tangga. Makanya, Mama yang lebih sering menegur kami saat nakal. Papa jarang marah. Tapi, kalau Papa sampai marah, sudah pasti aku jadi gemetaran. Pernah saat di SD IPK (Iman Pengharapan Kasih), aku nakal di sekolah. Sebenarnya, sih, aku anak yang baik. Tapi, ada teman lelaki yang nggodain dan ngledekin terus. Karena jengkel, aku ingin membalas kenakalannya.
Kusiapkan sekantong plastik berisi air. Aku siap melemparnya biar basah kuyup. Aku yakin, lemparanku pasti kena. Dia berhasil mengelak. Apesnya malah mengena para suster yang sedang duduk. Aduh, kelakuanku dilaporkan kepala sekolah. Meski sudah minta maaf, tetap saja aku dapat teguran. Rupanya, selanjutnya sekolah telepon ke rumah. Apa yang terjadi? Sesampai di rumah, Papa pasang wajah angker. Gawat. Tak biasanya Papa pulang cepat. Langsung saja aku diomeli habis-habisan, "Nakal banget, sih!" kata beliau. Saking takutnya, aku sampai nangis.
Keesokan harinya, aku masih juga dihukum. Aku mesti menulis, "Aku tidak akan menyiram suster dengan air lagi" sampai beberapa halaman. Sebenarnya, sih, aku sudah menjelaskan tak sengaja menyiram suster Tujuanku, kan, teman lelakiku. Apa pun, tindakanku tidak bisa dibenarkan.
Henry Ismono / bersambung
KOMENTAR