Masih aktif kuliah?
Iya. Saya mahasiswi semester 12 Jurusan Seni Karawitan, ISI Yogyakarta. Seharusnya selesai di semester 8, tapi molor karena banyak job di luar kampus. Bahkan sempat cuti satu semester, untuk mempersiapkan diri nyinden ke Belgia. Waktu itu saya diundang Ea Sola, lembaga kesenian yang berpusat di Prancis, tapi punya cabang di Vietnam dan Belgia. Di sana saya nyinden di hadapan masyarakat yang tinggal di Brussels, berkolaborasi dengan seniman dari Filipina, Laos, Kamboja. Dari sekian penyanyi tradisional itu, saya yang paling muda.
Bagaimana bisa sampai pentas ke Brussels?
Salah seorang manajemen Ea Sola datang ke Lembaga Indonesia Perancis (LIP) Jogja, mencari sinden. Oleh teman, disodorilah nama saya. Kebetulan saya bersama grup Acapella Jawa sering pentas di LIP. Lalu manajemen Ea Sola datang ke kampus melakukan audisi dan mengeliminasi secara diam-diam. Banyak sinden diseleksi termasuk saya dan pesinden keraton.
Oh ya, seleksinya tak cuma nyinden tapi juga dites keterampilan Bahasa Inggris dan harus bisa menabuh gamelan. Pendek kata, setelah menunggu, saya diberi tiket dan langsung berangkat ke Belgia sendirian.
Sudah sering ke luar negeri?
Sejak bersekolah di Sekolah Menengah Kesenian Indonesia (SMKI) saya sudah pernah diajak pentas ke luar negeri. Misalnya ke Jepang. Setelah melanjutkan ke ISI, beberapa kali ke luar negeri bersama dosen, misalnya ke Portugal tahun 2009. Ya, paling tidak sudah lima kali ke luar negeri.
Kok, pilih jurusan karawitan?
Sejak SMP saya sudah jadi penyanyi campursari. Bergabung di Grup Laras Sliring. Laku di kawasan Gunung Kidul, kampung halaman saya. Setidaknya seminggu 7 kali pentas. Saya juga pernah juara I MTQ se-Gunung Kidul tahun 2004. Saya pikir, bersekolah di SMKI bisa tambah terkenal dan belajar lagu-lagu campursari. Ternyata, yang diajarkan main gamelan dan nyinden.
Suka musik campursari?
Ibu dulu pemain ketoprak, suaranya lumayan merdu. Saya juga sering mendengar lagu-lagu dari kaset dan menirukannya. Eh, kok, suara saya pas. Merasa pede, saya jadi rajin menyumbang suara di acara 17 Agustusan di mana saja. Pernah, lho, sekitar tahun 2003 saya jalan kaki pakai sepatu hak tinggi ke suatu desa berjaraknya 7 km, sekadar buat nyanyi. Tiba di tujuan, panggungnya sudah bubar. Ha ha ha...
Anggota Acapella Jawa juga?
Iya. Saya bergabung dengan Acapella sejak masuk SMKI, saat Soimah masih aktif. Mental saya digembleng agar tampil maksimal di hadapan penonton.
Latihan vokal di mana?
Untuk campursari saya belajar dari kasetnya Pak Manthous, tokoh kondang musik campurari. Sementara belajar nyinden, ya, pas di SMKI.Saya juga les privat nyinden ke dosen Jurusan Pedalangan ISI Yogya, Pak Suparto SSn. MHum., sampai sekarang.
Kabarnya laris diajak ndhalang oleh dalang profesional?
Awalnya ikut pedalang lokal, Pak Pardjoyo. Beliau guru di SMKI. Mungkin dari mulut ke mulut ada yang mempromosikan saya, sehingga bisa diajak Pak Seno Nugroho yang katanya dhalang paling mahal. Pernah juga diajak Ki Enthus, Ki Wisnu Hadi Sugito, dan Ki Tono Hadi Sugito. Nnyinden-nya semalam suntuk, dari jam 8 malam sampai 5 pagi. Seperti sinden zaman dulu, saya juga pakai kain jarik dan kebaya plus konde lengkap. Awalnya sering terasa sakit saat duduk bersimpuh semalam suntuk, tapi lama-lama jadi biasa.
Berapa kali nyinden dalam sebulan?
Dulu sebelum laris hanya 4-5 kali per bulan. Sekarang bisa sampai 25 kali sebulan. Pernah di malam wayangan, paginya masih harus nyanyi diiringi elekton. Akibatnya, 10 hari 10 malam saya tak tidur dan sakit. Akhirnya saya dibuatkan dopping jamu jawa oleh Ibu. Ramuannya kencur dicampur telur ayam kampung dan jeruk nipis. Tapi karena saking seringnya nyinden, sudah jarang minum jamu.
Sudah mantap jadi sinden?
Saya ingin total jadi sinden. Selain nyinden saya juga bisa menabuh gamelan, terutama gender. Instrumen ini tingkat kesulitannya tinggi. Ditabuh dengan dua tangan secara bersamaan, tapi notasinya berbeda. Selain nyinden saya penyanyi campursari, bergabung di grup Jampisayah, Magelang.
Yang terbaru rekaman bersama grup Jazz Everyday. Lagu di album pertama berjudul Lumbung Desa dan Lesung Jumengglung. Kedua tembang Jawa itu saya nyanyikan dengan irama jazz. Di album kedua, saya menyanyikan So in Love, kolaborasi suara sinden dan jazz, dengan musik pentatonis. Saya bisa bergabung di kelompok jazz ini karena diajak teman dari jurusan musik ISI, Jay Saxophone.
Rini Sulistyati
KOMENTAR