Mengapa tertarik mendesain baju anak?
Sebab, di Indonesia belum banyak 'pemainnya', tak seperti busana dewasa. Awalnya, yang saya buat justru tas bayi, selimut, dan baby set dari batik. Tas itu saya desain agar tetap bisa dipakai sang ibu meski anaknya sudah besar. Ternyata, ini produk yang slow moving. Maksudnya, orang jarang beli karena cenderung pakai barang yang pernah dibeli untuk anak sebelumnya. Akhirnya saya putuskan memproduksi baju anak berlabel Baby One sejak awal tahun ini.
Kok, bisa berkecimpung di dunia desain?
Dunia tekstil dan garmen bukan hal baru buat saya karena sebelum mendirikan Baby One saya sudah ada di bidang ini. Sejak kelas 5 SD, saya sudah jadi penggemar Samuel Wattimena. Waktu malam Lailatul Qadar, sejak malam sampai subuh saya berdoa agar bisa jadi desainer. Malam itu, saya seolah melihat diri saya sedang mengadakan fashion show. Ha ha ha...
Waktu SMP dan SMA, saya mendesain seragam sendiri, lho. Guru di sekolah sampai pusing melihat seragam saya beda dari yang lain. Saya buat gambarnya, lalu minta ibu saya, Nizamiyah, yang berbisnis konveksi bersama ayah, Jumali, untuk menjahitkannya. Kalau salah jahit, saya langsung minta diperbaiki.
Lalu?
Saya lulus SMA ketika bisnis konveksi orangtua bangkrut, sehingga saya putuskan harus "keluar" dari rumah untuk bisa survive, apalagi saya anak kedua dari lima bersaudara. Teman kakak yang alumni sebuah sekolah tinggi tekstil asal Korea di Bandung, memberitahu sekolah itu membuka pendaftaran. Saya nekat mendaftar sendirian. Waktu tahu diterima, senang bukan main karena di sekolah itu semuanya gratis.
Malah, dapat uang saku tiap bulan, tapi harus menjalani ikatan dinas di pabriknya. Setelah 8 bulan menimba ilmu di Bandung, saya magang di pabrik mereka di Korea selama dua tahun. Selama sekolah dan magang itulah saya belajar banyak tentang kain, misalnya komposisi, corak, dan bermacam-macam mesin tekstil. Meski 6 bulan pertama kuliah tidak menikmati, setahun berikutnya saya malah enggan pulang. Ha ha ha...
Sekarang, sudah mahir mengenali kain, dong?
Alhamdulillah. Dengan memegangnya saja, saya bisa tahu komposisi selembar kain. Jadi, penjual kain sudah enggak bisa menipu saya. Tidak sampai setahun saya menjalani ikatan dinas di pabrik itu karena krisis moneter melanda. Tahun 1999 pabrik itu keluar dari Indonesia. Tawaran untuk ikut pindah ke Korea atau Cina saya tolak.
Selanjutnya ke mana?
Kembali ke Semarang, bekerja sebagai merchandiser di sebuah perusahaan garmen milik asing khusus ekspor. Dua tahun di sana, saya pindah ke perusahaan tekstil di Jakarta yang pemiliknya orang asing. Saya ditawari bekerja di sana gara-gara mengantarkan teman wawancara kerja untuk perusahaan itu. Besoknya, malah saya ditelepon perusahaan itu, diminta mengirimkan CV.
Karena saya masih di Semarang, untuk wawancara kerja perusahaan itu menyediakan tiket pesawat PP, menginap di hotel bintang lima di Kemang dan uang saku. Saya pikir, kalaupun tidak diterima, anggap saja jalan-jalan gratis. Ternyata, saya diterima sebagai merchandise supervisor. Gaji yang saya minta, meski sudah saya naikkan tiga kali lipat dari sebelumnya juga disetujui. Delapan tahun saya di sana, dengan posisi terakhir menjadi orang kedua di perusahaan itu sebagai Senior Manager di usia 29 tahun.
Berhenti bekerja untuk membuat Baby One?
Tak persis seperti itu. Saya sadar diberi banyak kemudahan oleh Tuhan selama bekerja, tapi bagaimana pun saya harus kembali ke kodrat sebagai perempuan. Saya sedih dan tersentak ketika anak sulung saya, M. Anargya Fikri (5) sakit dan harus masuk rumah sakit, tapi tak mau ditemani saya. Maunya sama pembantu. Selain itu, di perusahaan yang terakhir, Senin-Jumat paling cepat saya baru pulang pukul 22.00.
Saya pikir, pasti ada yang salah dengan hidup saya. Akhirnya saya mantapkan diri untuk berhenti bekerja, meski sebetulnya sejak dua tahun lalu saya sudah tiga kali mengajukan surat pengunduran diri, tapi selalu ditolak. Suami saya, Fikri Reza (33) yang menjadi dosen sekaligus musisi, sangat mendukung keputusan saya. Kebetulan, saya sudah berkeinginan mendesain, dan teman-teman di APPMI (Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia) sudah tahu itu.
Hasuna Daylailatu / bersambung
KOMENTAR