Bila ada yang menduga aku suka memasak sejak kecil, tebakannya itu 100 persen benar. Aku, yang bernama lengkap Sis Cartica Soewitomo, sudah senang masuk dapur sejak balita. Ceritanya, zaman dulu belum banyak restoran seperti sekarang. Jadi, semua masakan harus dibuat sendiri oleh masing-masing keluarga. Aku ingat, menjelang Lebaran, kala itu masih berumur 4 tahun, aku sudah membantu Nenek bikin kue kastengel.
Saat itu aku hanya membantu mengoles kastengel yang akan dipanggang. Alat olesnya masih bulu ayam. Jangan dibayangkan oven untuk memanggangnya seperti oven model sekarang, ya. Tentu saja saat itu bentuknya masih sangat sederhana, hanya bundar berbahan logam, dengan bahan bakar arang di bagian atas dan bawahnya. Hehehe... Jadul, ya? Maklum, lahirku saja pada 8 April 1949. Jadi, wajarlah kalau kondisinya pada saat itu masih seperti itu.
Aku lahir di Surabaya sebagai anak pertama dari lima bersaudara. Bapak, Rp. Tjipto Soemirat, asli Madura. Bapakku adalah pegawai negeri di kantor Bea dan Cukai di Surabaya. Sedangkan Ibu, Rr. Chrysantini Slamet, asli Yogya, sehari-hari mengurus rumah tangga dan anak-anaknya. Sebagai anak pertama, aku sering ke dapur, membantu Ibu yang memang pandai memasak.
Semasa SD, menjelang Lebaran aku senang membantu Ibu memasak hidangan Lebaran. Tugasku mengupas bawang merah dan bawang putih sampai bercucuran air mata. Kelas 5 SD, kami sekeluarga pindah ke Lombok, karena Bapak pindah tugas ke sana. Di pulau ini hanya sementara, tetapi aku punya pengalaman berkesan.
Aku punya dua sahabat perempuan yang setiap minggu selalu mengajakku nonton ke bioskop. Yang mengherankan, mereka selalu mengajak nonton film India! Hahaha... Di Lombok pula aku jadi pandai menjahit, belajar dari Ibu. Aku senang membuat baju. Kalau salah bikin, baju itu aku sembunyikan karena malu. Sayang, hanya sebentar kami di Lombok. Kami pindah lagi ke Surabaya ketika aku duduk di kelas 6.
Agar punya tambahan uang saku, menginjak SMP, aku mulai membuat kue untuk dijual. Yang kubuat saat itu antara lain kue sus, roti, dan bolu kukus. Karena tidak ada mikser, jadilah adonan roti itu kubanting-banting. Setiap hari, kue buatanku dijajakan pembantu kami keliling kampung. Alhamdulillah, kuenya selalu habis. Eit, rajin membuat kue bukan berarti aku lupa belajar, lho.
Belajar bersama teman-teman sering kulakukan di rumah. Dasar suka memasak, di sela-sela acara belajar tetap saja aku memasak untuk teman-temanku. Ha...ha...ha...Tentu saja temanku senang mendapat makanan. Kebiasaan ini berlangsung sampai aku duduk di bangku SMA. Namun, berjualan kue sudah tidak kulakukan lagi setelah duduk di bangku SMA karena semakin sibuk.
Sebetulnya, dari penghasilan Bapak yang punya jabatan di kantor, kehidupan keluarga kami terbilang berkecukupan. Namun, bukan berarti Bapak memanjakan anak-anaknya. Sebaliknya, Bapak sangat disiplin mendidik kami. Kami tidak pernah diberi uang berlebihan. Waktu masih SMP, aku diharuskan membaca buku-buku berbahasa Inggris. Kelak, aku akan bersyukur Bapak pernah menyuruhku melakukan hal ini.
Waktu umur 16 tahun, Bapak mengharuskanku bisa menyetir mobil sendiri. Jangan dikira aku langsung belajar menyetir, lho. "Perkenalan" dengan mobil dimulai dengan mencuci ban. Setelah itu, mengisi air radiator. Setelah bisa melakukannya, barulah aku belajar menyetir. Bapak juga streng soal cowok. Kalau ada teman cowok datang, pasti langsung diberondong pertanyaan mulai dari nama, sekolah, dan seterusnya.
Padahal, saat itu aku sudah mulai naksir lawan jenis. Namun, Bapak tetap mengharuskanku melapor ke mana aku akan pergi, dengan siapa, dan seterusnya. Semuanya harus jelas. Kalau tidak, aku tidak boleh ke mana-mana. Alhasil, kalau naksir cowok, aku pergi beramai-ramai dengan teman-temanku. Aku yang saat itu masih remaja, merasa tertekan dengan aturan ketat Bapak. Sebal rasanya.
Putus Kuliah
Cerita soal ibuku lain lagi. Ibu adalah wanita penuh kelembutan terhadap anak-anaknya. Semasa kecil, aku suka tidur di sebelah Ibu sambil memegang sikut beliau. Nyaman rasanya, karena sikut Ibu dingin. Namun, tetap saja Ibu juga mengajarkan kami disiplin. Begitu turun dari tempat tidur, kami harus langsung membereskan tempat tidur sendiri. Membersihkan kamar mandi juga jadi kewajiban kami.
Ibu menekankan pentingnya kebersihan kamar dan kamar mandi. Kelak, dua hal ini aku terapkan pula pada anak-anakku. Bahkan, sampai sekarang aku masih menyikat kamar mandiku sendiri. Meski Bapak dan Ibu cukup disiplin, mereka tetap mengutamakan keutuhan keluarga. Setiap jam makan, kami sekeluarga wajib makan bersama di meja makan.
Setelah lulus SMA, kami pindah ke Jakarta. Aku yang sejak kecil bercita-cita jadi dokter, akhirnya bisa juga kuliah di fakultas kedokteran. Saat itulah, lewat keluarga aku diperkenalkan pada Soewitomo Soeleiman, pria yang kemudian melamarku untuk menjadi istrinya. Calon suamiku ini sebetulnya orang Surabaya, tapi tinggal dan bekerja di Jakarta. Menginjak tahun kedua kuliah, aku menikah dengannya.
Sejak itulah aku mulai berpikir lebih serius untuk mencari jalan pintas dalam menghasilkan uang. Aku, kan, juga pengin punya penghasilan sendiri. Kuputuskan untuk berhenti dari kuliah dan mencari sekolah yang lebih cepat menghasilkan dan bisa membuatku maju dalam berkarier. Sebab, aku kini sudah berumahtangga. Apalagi, tak lama setelah itu aku hamil.
Aku melahirkan anak pertama, Dedy Mulyawan dan anak kedua, Novia Rizkihadiyanti dalam waktu berdekatan. Sedangkan anak ketiga, Heygar Soewitomo, lahir jauh setelah mereka, dan sekarang masih kuliah. Aku mendaftar ke dua jurusan sekaligus, yaitu Seni Rupa dan Perhotelan di Akademi Trisakti. Aku diterima di keduanya, tapi akhirnya aku memilih Perhotelan karena merasa ada hobiku di situ, yaitu memasak. Syukurlah, aku mengambil keputusan yang tepat.
Tiga Jabatan
Sambil kuliah, aku sudah mulai bekerja. Awalnya, aku bekerja sebagai field personnel alias pekerja lapangan di acara PATA (Pacific Asia Travel Association) Conference yang diadakan di Indonesia pada 1974 selama dua minggu. Pelatihannya berlangsung selama enam bulan. Salah satu syaratnya, bisa berbahasa Inggris. Kebiasaan membaca buku berbahasa Inggris yang disuruh Bapak semasa SMP dulu, kini terasa manfaatnya. Dengan mudah aku lolos syarat itu.
Selain itu, aku juga magang dan bekerja paruh waktu di beberapa hotel, termasuk Hotel Hilton. Malah, aku ditawari bekerja di Hilton, tapi aku menolak. Lulus tahun 1976, aku bekerja sebagai asisten dosen di kampus, lalu menjadi dosen. Sesuai keinginan dulu, karierku memang maju di bidang ini. Tahun 1980, aku mendapat beasiswa dari pemerintah Amerika untuk ikut training di China Baking School di Taipei, Taiwan.
Tiga tahun kemudian, aku kembali mendapat beasiswa untuk menimba ilmu, kali ini di American Institute of Baking di Manhattan, Kansas, Amerika. Selama mendapat beasiswa, terpaksa aku meninggalkan anak-anak di Jakarta bersama suami. Namun, aku yakin, kalau hati tenang, anak-anak juga akan tenang. Yang membuatku lebih lega, sepulangku dari kampus di malam hari, anak-anakku di Jakarta baru pulang sekolah.
Aku jadi bisa melepas rindu dengan menelepon mereka. Kembali ke kampus, ya kembali mengajar. Sekembalinya dari Amerika, sambil menjadi dosen senior, aku merangkap sebagai Kepala Bagian Humas dan Kepala Bagian Pengabdian Masyarakat di kampus. Sampai tahun 1991, aku masih mengajar dan berdemo masak di kampus. Banyak muridku yang kini jadi chef terkenal, antara lain Tatang, Rudy Choiruddin, Deddy Rustandi, dan Haryanto Makmoer. Malah, Haryanto sempat jadi asistenku ketika aku demo masak di kampus.
Hasuna Daylailatu / bersambung
KOMENTAR