Langkah apa yang kemudian Anda lakukan?
Saya dan tim berusaha menggodok strategi CSR yang berfokus di bidang kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi. Pada akhirnya terangkum melalui sebuah kampanye nasional kami yaitu Nutrisi untuk Bangsa. Kami pilih Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), pendidikan nutrisi karena kami punya macam-macam produk yang semuanya punya nutrisi, juga memberdayakan masyarakat.
Saya dan teman-teman mengadopsi program pemerintah yang namanya Desa Siaga. Kami mulai di Jakarta. Karena di Jakarta bukan masyarakat pedesaan, kami mulai lewat RT dan RW. Kami melakukansemacam maping. Kami mesti melibatkan masyarakat dan ada tokoh yang bisa menggerakkan. Kami masuk lewat Posyandu.
Sejak kapan mulai berjalan?
Kami mulai tahun 2005 di Rawa Belong, Kelapa Dua yang masuk wilayah Kebon Jeruk. Di sanalah kami pertama kali membuka Rumah Srikandi dengan bekerja sama dengan berbagai pihak, antara lain dengan Dana Kemanusiaan Kompas dan Dana Bakti Astra. Setahun kemudian, program ini launching dengan dihadiri Menko Kesra saat itu, Aburizal Bakrie dan istrinya.
Konsep Rumah Srikandi adalah community center. Di sana ada PAUD, health education training. Termasuk ada cooking class dan berbagai kegiatan yang mengajari ibu-ibu agar mandiri. Selain itu, anak putus sekolah diajari keterampilan.
Rumah Srikandi dikembangkan ke mana lagi?
Sampai ke beberapa kota. Kami membuat Rumah Srikandi di Klaten, tak jauh dari pabrik kami. Di sana juga ada kegiatan PAUD, sadar gizi ibu balita. Kegiatan kelas masak, misalnya membuat nasi goreng kacang ijo, membuat nugget, dst. Hanya saja, di Klaten belum seberhasil di Jakarta. Nanti kami akan bekerja sama dengan berbagai pihak agar kegiatan lebih terarah. Harapan kami, Rumah Srikandi di berbagai kota itu juga berhasil seperti di Jakarta.
Apa lagi program Sari Husada lainnya?
Kami membuat program Srikandi Award, ini apresiasi kami pada bidan. Kenapa memilih bidan? Pertimbangannya, dari data yang kami peroleh, 60 persen penduduk Indonesia, lahir dengan bantuan bidan. Artinya, bidan bisa disebut sebagai agen perubahan.
Nah, dalam kegiatan Srikandi Award, para bidan itu mengajukan proposal sebuah kegiatan. Dia mesti melakukan kegiatan sosial di tempat ia tinggal, mengurai masalah di sekitarnya, dan bisa bekerja sama dengan community leader lainnya. Setelah kami pelajari, mereka akan kami bantu dana. Kami bekerja sama dengan IBI dan PKPU. Sambutannya sungguh luar bisa.
Apa saja program para bidan itu?
Tahun lalu ada program dari seorang bidan di Gunung Kidul, Yogyakarta, yang membuat program sumur bor. Ia punya pengalaman melihat ibu hamil yang mesti menempuh perjalanan sekitar 2 km untuk mengambil air. Namun, ibu ini jatuh sampai bayinya keguguran. Bidan ini bertekad mengumpulkan para pemuka masyarakat untuk membuat sumur bor. Dia mengirimkan proposalnya kepada kami. Proposalnya Rp 70 juta dan kami kasih Rp 30 juta. Dana lainnya patungan. Dan usahanya berhasil. Tahun ini, bidan yang bersangkutan kirim proposal lagi. Dia ingin membuat hidroponik.
Aktivitas Anda lainnya?
Saya dua tahun berturut-turut (tahun 2008 dan 2009) jadi ketua Hari Kesehatan Nasional. Di luar kegiatan kantor, saya selalu berusaha jalan-jalan sama suami, Chrisna Catrica dan anak-anak, Reihan Abhipradana dan Naura Ambareswari. Tiap tahun, kalau ada dana lebih, kami jalan-jalan ke luar negeri. Kami pernah ke Hongkong, Cina, Jepang, Australia. Tentu saja anak-anak saya ajak juga jalan-jalan ke berbagai tempat wisata di Tanah Air.
Henry Ismono
KOMENTAR