Apa yang paling menarik bekerja di Coca -Cola?
Tentunya saya bisa belajar banyak. Coca-Cola beroperasi di 206 negara, jadi bisa saling belajar dari negara lain. Selain itu, saya juga banyak mendapat dukungan dan pelajaran dari pakar-pakar yang sudah mumpuni.
Sebelum bergabung dengan Coca-Cola, bekerja di mana?
Di PT Unilever. Saya pindah dari sana untuk mencari pengalaman baru. Agak berbeda kulturnya karena Unilever merupakan perusahaan Eropa, sedangkan Coca-Cola perusahaan Amerika.
Apa latar belakang pendidikan Anda?
Saya lulusan Fakultas Hukum Trisakti tahun 1986. Saya memilih jurusan itu karena kakak saya juga kuliah di sana. Padahal, saya maunya kuliah di Jurusan Sejarah. Sayangnya, orangtua tidak setuju. Mereka bilang, enggak ada uangnya. Jadi ketika saya lulus kuliah, dunia hukum kurang menarik bagi saya. Kebetulan kesempatan kerja yang tersedia ada di Unilever.
Kenapa menyukai sejarah?
Karena sejarah bisa menjadi inspirasi. Sejarah bisa menjadi sumber belajar yang bagus karena berdasarkan pengalaman nyata. Selain itu, saya punya ketertarikan terhadap hal yang bagus untuk mengenal kedua hal itu. Kesukaan pada sejarah akhirnya menurun ke anak pertama saya, Nadia Ayudinanti (19), yang sekarang sedang belajar Social Studies di Edith Cowan University, Perth, Australia. Dia bilang, mau mengambil spesialisasi Antropologi. Komentar saya? "Bagus!"
Bagaimana perjalanan karier Anda hingga bisa menjadi orang nomor satu di Corporate Affair Coca-Cola?
Saya memulai karier di Coca-Cola sebagai Marketing Manager, lalu dipromosikan menjadi Deputy Marketing Director. Tahun 1999 pasca krisis ekonomi di Indonesia, saya diberi tanggung jawab baru untuk mengelola hubungan perusahaan, termasuk dengan masyarakat dan pemerintah. Selain itu, sejalan dengan misi perusahaan untuk memperkuat program CSR-nya, saya juga diberi tantangan untuk membentuk Yayasan Coca-Cola. Menantang, menarik karena selalu ada hal-hal baru.
KOMENTAR