Banyak ibu yang belum memberikan kebutuhan psikis anak, seperti pelukan, penghargaan, dan cinta kasih. Karena itu saya bersemangat mengampanyekan perlunya pengasuhan anak yang baik di rumah. Pengasuhan ini tidak butuh biaya besar, hanya membutuhkan perhatian lebih untuk anak.
Apa yang membuat Anda akhirnya menulis buku?
Setiap kali bertemu klien atau teman-teman, saya yang waktu itu bekerja sebagai staf marketing sebuah perusahaan lem, selalu bercerita tentang bagaimana saya mendidik anak-anak. Mereka suka mendengarnya, lalu menyarankan untuk bikin buku. Saya pikir ada benarnya juga. Mulailah saya menulis, dan April 2008 buku pertama saya terbit. Sampai November 2009, buku saya sudah dicetak lima kali, dan tercatat di Rekor MURI.
Bagaimana ceritanya bisa laris jadi pembicara di berbagai seminar?
Begini, sebelum saya bikin buku, guru anak saya, orang Taiwan datang ke rumah menanyakan bagaimana saya bisa mendidik anak sebaik Julian. Dia bertanya seperti itu karena sebelumnya, Julian bersama teman-temannya dihukum gurunya gara-gara merusakkan tempat sampah milik sekolah. Julian harus membayar sebesar Rp 15 ribu. Pulang sekolah Julian memberikan surat pemberitahuan hukuman itu kepada saya. Lalu, Julian saya tanya kenapa tempat sampah sekolah rusak. Cerita Julian, tempat sampah itu rusak gara-gara ia berusaha menyelamatkan temannya yang sedang dikerjai teman-teman lainnya. Mereka menabrak tempat sampah itu. Alasan Julian lalu saya ceritakan ke gurunya.
Jadilah guru Julian menemui saya. Saya diminta berbagi pengalaman dalam mendidik anak di acara yang diadakan sekolahnya. Saya juga sering diundang jadi pembicara di berbagai seminar, bahkan sampai ke luar kota.
Apa yang ditawarkan dalam buku pertama?
Banyak orangtua mengeluhkan betapa sulitnya mendidik anak-anak. Buku pertama saya, Siapa Bilang Ibu Bekerja Tidak Bisa Mendidik Anak dengan Baik?, menawarkan konsep mendidik anak dengan melibatkannya, tetapi tidak selalu mengatur mereka. Caranya antara lain dengan membuat perjanjian bersama anak. Jadi, anak tidak merasa diatur dan belajar untuk bertanggungjawab atas setiap perbuatannya.
Apa isi perjanjian untuk anak?
Isinya antara lain jadwal kegiatan yang harus dipatuhi anak, kapan waktunya main, belajar, dan sebagainya. Anak juga boleh bernegosiasi, misalnya soal waktu bermain, yang penting ia tetap patuh. Dalam perjanjian, anak-anak saya hanya boleh keluar main atau menerima teman ke rumah pukul 16.30-18.00. Kalau mereka pulang telat, hari berikutnya tidak boleh keluar rumah.
Begitu pulang, mereka juga dihukum untuk berdiri di lantai yang warnanya berbeda. Kalau telatnya tiga menit, berarti hukumannya selama tiga menit. Saya sendiri berusaha sebisa mungkin untuk tidak pulang telat.
Cara itu ampuh?
Syukurlah, mereka jadi sangat menghargai waktu. Disiplin seperti ini penting untuk kehidupannya kelak. Contohnya, saat Julian harus piket di sekolah, ia sengaja berangkat pukul 06.00 agar tidak telat. Padahal, ia hanya perlu lima menit bersepeda untuk menuju sekolah. Namun, jangan lupa, anak bisa disiplin kalau orangtua juga memberi contoh yang sama. Kalau orangtuanya tidak disiplin dan hanya bisa menyuruh, ya percuma.
Hasuna Daylailatu / bersambung
KOMENTAR