Bullying adalah tindakan agresif dan tidak diinginkan yang mencakup kekuatan tidak seimbang. Bullying tak hanya terjadi di dunia nyata (offline) tapi juga online, seperti di media sosial. "Sekitar 20-40 persen remaja pernah mengalami cyberbullying," jelas psikolog anak dan keluarga, Roslina Verauli, M.Psi., di acara Media Gathering yang diselenggarakan Norton By Symantec, beberapa waktu lalu.
"Biasanya, bullying terjadi berulang kali. Kalau hanya sekali saja, tidak termasuk bullying," papar Vera sambil mencontohkan bullying di Facebook. "Orangtua memasang foto balitanya yang telanjang. Memang, sih, anaknya masih kecil, lagi lucu-lucunya. Kalau yang lihat keluarganya, sih, tidak masalah, tapi bagaimana kalau ada yang iseng dan menyebarkannya ke orang lain?"
Bisa jadi, ketika Sang Anak makin besar, mereka merasa diperlakukan tidak tepat oleh orangtuanya sendiri. "Anda harus hati-hati. Ketika Anda memperlakukan anak secara tidak sehat dan berulang-ulang. Anak akan tertekan, bisa mimpi buruk berkepanjangan. Ini artinya orangtua sudah melakukan cyberbullying di media elektronik," kata psikolog yang menerima banyak email atau twit tentang kasus bullying.
Pola Asuh Orangtua
Anak korban bullying di offline ternyata berisiko lebih besar menjadi korban cyberbullying. "Anak yang di-bully biasanya anak yang suka sendirian. Makanya, harus dikembangkan kemampuan sosial Si Anak, jangan sampai sendirian," tutur Vera yang berharap setiap anak memiliki teman. "Lebih bagus kalau punya dua teman atau malah lebih. Tak masalah jika semua temannya tipikalnya sama dengan dirinya. Ini agar dia terjaga dari aksi bully teman-temannya."
Jangan salah, anak-anak korban bullying pun ternyata berpotensi jadi pelaku. "Terkadang, secara pasif korban melakukan bullying terhadap orang lain. Misalnya, di rumah mem-bully adiknya atau anak tetangga yang lebih kecil," jelas Vera.
Pola pengasuhan orangtua pun sangat berpengaruh terhadap anak. Biasanya, pada orangtua yang overcontrol, apa yang dikerjakan anak selalu dipantau. Padahal, misalnya, yang dilakukan anak hanya mencuci tangan. Bisa juga, orangtua overprotective, sedikit-sedikit melarang anak dengan alasan takut sakit atau jatuh.
"Ketika Anda berlaku seperti itu, Anda sedang mencuri kompetensi anak. Anda sedang mengambil alih kemampuan anak dalam hal emosionalnya. Anak-anak seperti ini aman di rumah, tapi begitu di luar mengalami hambatan, takut, dan cemas, karena tidak ada orang seperti di rumahnya," jelasnya.
Bisa ditebak, dampaknya anak jadi pencemas, penakut, dan minderan. Terkadang, orangtua lebih banyak mengkritik, tapi tidak pernah memuji. Misalnya, orangtua bermain dengan anak-anaknya. Yang ada, Si Ibulah yang mengatur semua permainan, harus begini harus begitu. Ketika anak melakukan kesalahan, ia terus menerus mendapat kritikan.
Perlu Rasa Humor
Bagaimana menghindarkan anak dari bullying? Yang paling penting adalah mengembangkan lebih dulu empati anak agar jangan sampai ia menjadi pelaku. "Empati itu dasar dari perilaku sosial, antara lain suka menolong, peduli terhadap orang lain, melihat orang terkena musibah akan tersentuh, atau ada yang berbuat jahat pada temannya, akan dibela," papar Vera.
KOMENTAR