Aku lahir di Jakarta, 2 Januari 1980, sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Ayahku, E.B. Djatrich adalah seorang pegawai negeri sipil yang saat itu tengah bertugas di Timor Leste, sehingga tak sempat melihat proses kelahiranku. Sementara Ibuku, Elsye adalah seorang bidan.
Tak seperti bayi kebanyakan, kata Ibu, sewaktu lahir aku tidak menangis. Meski ditepuk-tepuk, dicelupkan ke air dingin, tangisku tak kunjung terdengar. Setelah beberapa usaha itu dilakukan, barulah tangisku mengiasi dunia ini.
Kedua orangtuaku kemudian memberi nama Ruth Permatasari. Aku tumbuh menjadi gadis kecil yang kemudian disapa Rury atau Jenong. Tetapi menginjak SMP teman-teman sekolah mulai menyapaku dengan sebutan TJ yang di kemudian hari rupanya membawa keberuntungan buatku. Kini, orang sering bertanya padaku, kenapa bisa memiliki sapaan TJ (Tije)?
Wah, ceritanya panjang. Awalnya, tahun 1991 ada film serial komedi asal Amerika berjudul Head of the Class yang diputar di RCTI. Di serial itu, ada karakter perempuan berkulit hitam yang gayanya mirip laki-laki bernama TJ. Teman-temanku di SMP mengatakan aku mirip karakter TJ itu. Aih! Aku sungguh tidak suka disamakan dengan TJ di film serial itu. Saking kesalnya, aku suka mengejar lalu menendang teman yang memanggilku TJ.
Lulus SMP panggilan itu tidak bisa lenyap begitu saja. Gara-garanya, ada seorang kawan SMP yang satu SMA denganku. Begitulah, ia terus memanggilku TJ. Bahkan hingga masuk perguruan tinggi pun ia memanggilku TJ. Jadilah semua teman-teman kuliah memanggilku TJ. Protes? Sulit! Masak aku harus mengejar dan menendang semua teman yang memanggilku TJ? Aku pasrah saja. Akhirnya panggilan itu terdengar biasa di telinga dan berlanjut hingga kini.
Menangis di Jembatan
Ada cerita masa kecil yang hingga kini tetap kukenang. Oleh karena ayahku bekerja dan ibuku melanjutkan kuliah, aku kerap ditinggal sendiri di rumah. Apalagi, kedua kakakku, Areta dan Daniel berbeda usia cukup jauh dariku. Kalau sudah begitu, aku lebih suka main sendiri di rumah dan sekitarnya. Suatu kali, aku sedih tak terkira lantaran semua orang tak kunjung pulang. Apa yang kulakukan kemudian? Aku menangis di jembatan!
Salah satu kegiatan bermain favoritku di rumah adalah mendengarkan drama radio Brama Kumbara yang saat itu populer sekali. Dari sekadar mendengarkan, lama-lama aku sering terinspirasi untuk memainkan peran seperti salah satu tokoh di drama itu. Kadang aku berimajinasi sedang menyebrangi sungai sambil membawa bungkusan di pundak. Lalu, aku mulai bicara sendiri "Ah, itu ada sungai! Mari kita cuci muka sambil beristirahat!"
Berita yang lebih lengkap dan dalam ada di Tabloid NOVA. Belinya enggak repot, kok.
Sahabat NOVA bisa pilih langganan di Grid Store, atau baca versi elektroniknya (e-magz) di Gramedia.com, MyEdisi, atau Majalah.id.
KOMENTAR