"Sekarang mulai dikembangkan pengobatan tradisional yang diintegrasikan dalam sistem pelayanan kesehatan konvensional (yang menggunakan obat farmasi). Sudah ada parameter terstandar dan berdasarkan bukti-bukti klinis. Dan ini sudah memanfaatkan ilmu biomedis sebagai penjelasan ilmiahnya, bahkan sudah dapat diperoleh (ilmu pengetahuannya) melalui pendidikan formal (kedokteran)," ungkapdr Aldrin Neilwan P. MD., MARS., M Biomed, M. Kes, Sp AK, praktisi pengobatan herbal dan akupunktur dari Rumah Sakit Royal Taruma, Jl. Daan Mogot no.34, Jakarta Barat, juga Sek. Bidang kajian pengobatan tradisional komplementer IDI (Ikatan Dokter Indonesia) kepadatabloidnova.com.
Sayangnya, jika tidak disosialisasi dengan benar, pengobatan herbal ini dapat salah diposisikan dalam pengobatan di masyarakat. Banyak masyarakat menganggap pengobatan herbal sebagai alternatif pengobatan setelah tidak mendapat 'kesembuhan' dari pengobatan konvensional. Atau, menganggap pengobatan herbal sebagai alternatif pengobatan murah karena tak perlu ke dokter yang sering dianggap pengobatan berbiaya mahal.
Atas pemahaman ini, dokter Aldrin menolak hal tersebut. Berikut pemaparan dokter Aldrin berdasarkan praktek pengobatan herbal yang telah dijalankannya mengenai herbal dan obat konvensional (farmasi).
Ketahui Tingkatan Herbal
Sebenarnya herbal sendiri memiliki beberapa tingkatan berdasarkan bukti klinis yang dimiliki. Setelah mengantongi ijin edar dari BPOM, masih ada 3 tingkatan yang dikategorikan pada obat herbal. Diantaranya, jamu, herbal terstandar dan fito farmaka.
Jamu adalah kategori paling bawah dari obat herbal dimana obat herbal ini sudah berdasarkan bukti empiris, namun belum terstandarisasi dari sisi bahan baku dan belum diuji secara praklinis. Sedangkan herbal terstandar, adalah obat herbal yang sudah terstandarisasi secara bahan baku dan sudah dilakukan uji praklinis (pada hewan). Kategori obat herbal teratas yakni fito farmaka, adalah obat yang sudah terstandarisasi secara bahan baku, dan sudah dilakukan uji hingga taraf uji klinis (pada manusia).
"Untuk mencapai efektivitas pengobatan herbal sendiri perlu memenuhi 2 aspek, pelaku pemberi resep obat herbal dan bahan baku herbal yang teruji. Pelaku harus memiliki kompetensi (berpendidikan formal) sehingga mengetahui apa yang dibutuhkan," ungkap dr Aldrin.
Herbal Vs Kimia?
Lantas, apakah herbal dapat menggantikan obat farmasi? Dokter Aldrin menegaskan jika sebaiknya orang harus menempatkan herbal secara tepat. "Herbal adalah salah satu bagian dari pengobatan tradisional yang dikembangkan untuk men-support fungsi-fungsi tubuh sehingga dapat bekerja secara optimal," tandas dr. Aldrin.
Pemahaman herbal yang tepat, lebih memaknai obat herbal sebagai booster sisi sehat tubuh. Dengan kata lain, obat herbal mengoptimalkan sisi sehat tubuh sehingga dapat membenahi sisi yang sakit atau mengatasi penyakitnya sendiri. Berbeda dengan pengobatan herbal, pengobatan konvensional (farmasi) mengobati sisi tubuh yang sakit.
"Pengobatan herbal tidak bisa disamakan seratus persen dengan pengobatan konvensional. Tapi pengobatan herbal berkomplementer dengan pengobatan konvensional," ungkap dr.Aldrin mengingatkan masyarakat untuk tidak menafikan pengobatan konvensional sama sekali.
Dokter Aldrin mencontohkan, pada kasus-kasus akut seperti serangan jantung, stroke, radang akut dan sebagainya, tidak bisa tetap berpatokan pada pengobatan tradisional semata. "Setelah kondisi teratasi, pengobatan herbal dapat dipilih untuk perawatan selanjutnya yang meng-enhance tubuh sendiri," ujarnya lagi sembari mengingatkan agar kasus-kasus yang perlu penanganan cepat tidak diobati dengan pengobatan tradisional saja.
Kelebihan Herbal
Pengobatan tradisional memang memiliki banyak kelebihan diantaranya dari sisi keamanan (efek samping) dan harga. Namun dokter Aldrin mengingatkan jika herbal sekalipun tidak bisa dikatakan aman 100%. "Tapi tentunya, efek samping akan lebih kecil jika sudah terstandar," ungkap dokter Aldrin sembari menepis anggapan herbal yang dapat berpengaruh pada ginjal.
Selain itu, obat herbal yang banyak memiliki bahan berasal dari Indonesia dan penelitian yang dapat dilakukan di dalam negeri, seharusnya memiliki harga yang lebih terjangkau.
Namun jangan salah mengerti soal penggunaan herbal terhadap beberapa penyakit berat. Dokter Aldrin mengingatkan jika penderita penyakit berat perlu berkonsultasi dengan dokter saat menggunakan obat herbal "Obat insulin tetaplah golden standard bagi pengobatan diabetes. Boleh-boleh saja dikombinasi dengan herbal dan pola hidup sehat. Jika kadar gula sudah terkontrol dan gaya hidup sudah menyokong, obat konvensional bisa diturunkan dosisnya dan herbal tetap boleh diteruskan," ujarnya meluruskan pengobatan herbal.
Kombinasi obat herbal dan obat konvensional ini, menurut dokter Aldrin akan mengoptimalkan pengobatan yang dijalani penderita penyakit kronis (menahun). "Sinergi obat herbal dan obat konvensonal akan menghasilkan yang terbaik," pungkas dr. Aldrin.
Laili
KOMENTAR