Pernah pada suatu hari ia membawa putranya yang masih berusia 6 bulan ke sebuah klinik dekat rumah karena demam. Kebetulan dokter langganannya tidak praktik. Singkat cerita, ia mendapat resep puyer dan menebusnya ke apotek. Kecurigaannya muncul saat sang apoteker bertanya apakah resep ini diperuntukkan bagi bayi dan waktu dijawab ya, si apoteker meminta nomor telepon si dokter untuk konfirmasi.
Menurutnya ada kejanggalan yang tertulis di resep tersebut. Karena tak mau ambil risiko, teman saya memutuskan untuk membatalkan menebus resep dan membawa anaknya ke dokter lain untuk mencari second opinion.
Ternyata benar, dokter yang didatanginya itu bilang kalau salah satu racikan obat puyer tersebut takarannya melebihi batas normal untuk bayi berusia 6 bulan. Takaran tersebut lebih cocok diberikan kepada anak 3 tahunan. Ya, sudah semenjak itu, si teman jadi rela menyisihkan uangnya untuk datang ke dua dokter bahkan lebih saat ia menyangsikan apa pun. "Memang harus mengeluarkan dana lebih sih, tapi ini kan menyangkut kesehatan bahkan nyawa," ujarnya.
Cerita tadi bisa kita petik sebagai pelajaran akan pentingnya second opinion. Tak hanya karena dokter bisa melakukan kesalahan, tapi juga sebab-sebab lain. Misal, penjelasan yang diberikan dokter pertama tidak memuaskan. Bahkan dr. Marius Widjajarta S.E, dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), mengaitkan urgensi pendapat kedua ini dengan keadaan dunia medis di Indonesia yang belum memiliki standar profesi, baik itu standar profesi pelayanan medik ataupun pelayanan rumah sakit. "Jadi yang ada sekarang ini adalah standar hati nurani," sesalnya.
Lantaran itu, saran Marius, jika kita merasa janggal, tidak sreg, tidak puas, bingung, atau tidak jelas dengan penjelasan dan tindakan dokter, jangan ragu untuk mencari second opinion dari dokter lain. Memang segala biayanya harus ditanggung sendiri karena sistem pelayanan kesehatan di Indonesia belum seluruhnya menganut sistem asuransi, melainkan sistem "sakit dulu baru bayar". Dengan begitu, konsumen sering harus membayar lebih jika ingin mendapat pelayanan kesehatan yang memuaskan.
PEMERIKSAAN TAK PERLU
Selain untuk memperkecil risiko human error, menurut Marius, second opinion juga dibutuhkan untuk memastikan perlunya menjalani suatu tindakan medis. Ia lantas mengurut masalahnya dengan menyoroti nilai-nilai ekonomis peralatan medis (di rumah sakit atau di ruang praktik dokter) yang hanya sekitar 3 - 5 tahun. Padahal harga belinya tidak murah.
Nah, agar tidak rugi, beberapa oknum mencari cara-cara kurang bijak yang merugikan konsumen kesehatan. "Saya pernah menemukan rumah sakit dengan kapasitas 125 tempat tidur melakukan CT scan lebih banyak daripada RSCM yang memiliki ribuan tempat tidur. Mungkin pasien yang datang dengan keluhan sakit kepala ringan saja diminta untuk melakukan CT scan. Padahal tindakan itu, kan, jelas tidak perlu!"
Contoh lain adalah pemeriksaan USG pada ibu hamil. Kalau pemeriksaan tersebut tidak dikenakan biaya, tidak akan menjadi soal. Yang sering terjadi, pasien dikenakan tagihan esktra untuk pemeriksaan tersebut, padahal USG hanya dibutuhkan saat kontrol pertama dan kontrol menjelang persalinan. Kecuali tentu bila ada indikasi tak normal pada ibu hamil. Pemeriksaan dengan USG setiap kali kontrol sangat bisa diterima.
Nah, dari contoh kasus-kasus tersebut, kita bisa tahu betapa penting dan bermanfaatnya second opinion untuk pasien. Masalah second opinion sudah dilindungi Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 yang ditandatangani presiden, pada waktu itu, BJ Habibie. Jadi, jangan takut ataupun ragu untuk mencari dan mendapatkan second opinion yang sudah menjadi hak kita sebagai konsumen kesehatan. "Dokter pun tidak boleh menghalangi apalagi menakut-nakuti secara halus maupun kasar pasien-pasien yang berniat melakukan second opinion," tandas Marius. Dengan kata lain, mau menjalani suatu tindakan medis atau tidak adalah keputusan konsumen kesehatan bukan dokter.
TIP CARI SECOND OPINION
KOMENTAR