Jika cara-cara tersebut tak mempan, tak ada salahnya minta bantuan ahli seperti psikolog. Bahkan, teman/keluarga dekat yang cukup "ditakuti" suami juga bisa membantu. Langkah ini diharapkan bisa mengendalikan dan menetralisir keadaan yang tak menyenangkan agar tak berlanjut, bukan malah memperuncing masalah. Kendati tak tertutup kemungkinan yang bersangkutan justru tambah marah lantaran merasa diintervensi/direcoki urusan rumah tangganya.
Bila suami menunjukkan reaksi sesaat seperti itu, "Biarkan saja," anjur Singgih. Namun, tetap tunjukkan niat baik kita untuk memperbaiki keadaan dan bukan sekadar membeberkan aib rumah tangga seperti yang dituduhkan suami. "Bila suasana diupayakan sebaik mungkin hingga bisa dilakukan percakapan yang reasonable, besar kemungkinan sikapnya akan melunak." Hanya saja, lanjut konselor perkawinan ini, menghadapi seseorang yang kepribadiannya sangat tak matang, memang dituntut sikap ekstra hati-hati untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan. "Baiknya, sih, langsung minta bantuan ahli dan jangan anggota keluarga."
MAMPU BERTAHAN
Jika memang suami-istri masih mengharapkan hubungan mereka bisa terus berlanjut, menurut Singgih, "tak ada alasan untuk tak mengupayakan penyelesaian terbaik. Toh, sampai kapan pun, orang masih diharapkan bisa berubah dan berkembang ke arah lebih baik. Sama halnya, kan, kita menghadapi orang sakit. Salah besar, dong, kalau kita berpikir yang bersangkutan tak akan sembuh, lantas kita tak mengupayakan kesembuhan si sakit. Apa pun risikonya dan bagaimanapun peluangnya, tetap kita harus upayakan, kan?"
Pemikiran semacam itulah, kata Singgih, yang membuat banyak istri mampu bertahan bersuamikan pria seperti itu. Menurutnya, kemungkinan ada hal-hal yang memang bisa dinilai si istri sebagai sesuatu yang menyenangkan dari suaminya. Dalam arti, sang suami akan berperilaku demikian hanya bila tengah marah atau saat menghadapi kondisi tertentu yang tak menyenangkan, misal. Sementara di luar kebiasaan buruknya tadi, ia tetaplah seorang ayah yang baik. Kemungkinan lain, si istri sudah merasa lelah berupaya, namun tanpa hasil berarti lalu merasa tak bisa berbuat lain kecuali menerima keadaan.
Hal lain yang membuat si istri bertahan lantaran ia punya ketergantungan finansial. Hingga, keputusan bercerai dianggapnya tak kalah buruk, "Aduh, kalau cerai, gimana, dong, hidup saya dan anak-anak?" Jikapun secara finansial mampu, tak sedikit istri yang ngeri pada komentar miring dari lingkungan, "Apa kata orang nanti kalau saya harus jadi janda? Nggak kebayang, deh, malunya!" Bukankah bagi banyak orang, perceraian kerap dianggap sebagai bentuk kegagalan diri sekaligus kegagalan keluarga besar? Itu sebab, meski pahit dan berat, demi prestise keluarga maupun diri sendiri, banyak yang "rela" menjalani kehidupan seperti itu.
MENGIKIS DENDAM
Tentu saja, perilaku suami yang gemar memukul akan berpengaruh buruk terhadap kejiwaan si istri. "Bukankah ia menghadapi masalah besar tapi tak bisa berbuat apa-apa? Sementara harga dirinya pun terluka bahkan tercabik-cabik," bilang Singgih. Hingga, bisa dimengerti jika kehidupannya jadi selalu penuh ketegangan yang selanjutnya akan mengganggu ketentraman/kebahagiaan hidup dan eksistensi dirinya. Kondisi tak sehat seperti ini bisa menimbulkan macam-macam reaksi, lo. Entah dalam bentuk gangguan kepribadian atau kejiwaan, semisal selalu mengeluh sakit tapi tak terdeteksi saat diperiksa, atau bahkan berupa reaksi tak sehat dalam mendidik anak-anaknya.
Hanya saja apakah berdampak buruk atau justru memunculkan reaksi positif, amat tergantung dari porsi perlakuan buruk yang diterimanya maupun persepsi masing-masing individu. Buat yang satu, masalah yang sama mungkin sudah membuatnya goyah, sementara bagi individu lain malah menempanya menjadi makin tegar. Semua ini, ujar Singgih, tergantung dari konstelasi kepribadian yang bersangkutan. Artinya, mereka yang punya kepribadian cukup kuat, biasanya memiliki reaksi negatif yang minimal. Sedangkan yang berkepribadian lemah, umumnya lebih mudah ambruk saat dihadapkan pada masalah yang sama.
Itu sebab, dalam meredam masalah ini dituntut kematangan pribadi dan kebesaran jiwa istri. "Istri yang mampu menunjukkan sikap ini biasanya lebih menitikberatkan suasana damai, menjauhkan keluarga dari ketegangan atau clash terus menerus, serta mencoba menerima keadaan dengan berusaha mengambil hikmahnya." Dengan demikian, meski fisik dan batinnya terluka, ia mampu mengikis rasa dendam maupun nafsunya untuk melakukan pembalasan.
BIBIT DISENTEGRASI
Suami yang gemar memukul juga memberi dampak amat buruk buat balita. Soalnya, orang tua merupakan model peniruan. Apalagi jika anak melihat dan merasakan langsung pemukulan tersebut. "Anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan budaya pukul-memukul, sedikit banyak pasti akan terpengaruh," jelas Singgih. Soalnya, meski tak lagi merasakan sakitnya pukulan secara fisik, namun suasana/emosi yang muncul saat pemukulan itu terjadi akan selalu dirasakan sebagai sesuatu yang sangat mengganggu dan membuatnya tak happy. Bukankah menggendong anak dalam suasana emosi penuh kemesraan, ketenangan dan kecintaan, akan sangat berbeda dengan kondisi penuh amarah? Anak akan merasakannya, entah lewat suhu badan, denyut jantung yang meningkat tajam atau bahkan mata melotot.
KOMENTAR